Dibutuhkan keberanian dan terobosan yang kreatif untuk mengeluarkan
pendidikan nasional dari kondisi yang stagnan, sedangkan negara-negara
lain sudah melangkah jauh menuju pendidikan yang ideal.
BELUM genap dua bulan menjabat, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
(Mendikbud)
Nadiem Makarim sudah menggebrak dengan idenya, Merdeka
Belajar. Bahkan, dia menyebut, Merdeka Belajar ini merupakan permulaan
dari gagasan-gagasannya nanti yang juga akan diluncurkan untuk
memerbaiki sistem pendidikan nasional yang terkesan monoton.
Merdeka Belajar menjadi salah satu program inisiatif Nadiem Makarim
yang ingin menciptakan suasana belajar yang bahagia, baik bagi murid
maupun para guru.
Merdeka Belajar ini konon dilahirkan dari banyaknya keluhan orangtua
pada sistem pendidikan nasional yang berlaku selama ini. Salah satunya
ialah keluhan soal banyaknya siswa yang dipatok nilai-nilai tertentu.
"Jadi ini yang menjadi sangat penting. Kita dari Kemendikbud ingin
menciptakan suasana belajar di sekolah yang happy. Makanya, tag-nya
Merdeka Belajar," kata Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat
Kemendikbud, Ade Erlangga, dalam Diskusi Polemik tentang Merdeka Belajar
Merdeka UN, di Jakarta.
Ade juga menjelaskan, tujuan Merdeka Belajar ialah agar para guru,
siswa, serta orangtua bisa mendapat suasana yang bahagia. "Merdeka
Belajar itu bahwa pendidikan harus menciptakan suasana yang
membahagiakan. Bahagia buat siapa? Bahagia buat guru, bahagia buat
peserta didik, bahagia buat orangtua, untuk semua umat," papar Ade.
Secara keseluruhan, Merdeka Belajar yang diluncurkan Nadiem terdiri
atas empat isu penting, yakni penggantian format ujian nasional (UN),
pengembalian kewenangan ujian sekolah berstandar nasional (USBN) ke
sekolah, rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang hanya satu lembar,
dan naiknya kuota jalur prestasi pada penerimaan peserta didik baru
(PPDB) dari sebelumnya 15% menjadi 30%.
Ujian nasional yang selama ini menjadi pintu gerbang bagi para
pelajar di Tanah Air untuk masuk ke jenjang yang lebih tinggi akan
ditiadakan pada 2021 dan digantikan dengan asesmen kompetensi minimum
dan survei karakter.
Pemberlakuan UN dianggap kurang tepat karena lebih mendorong siswa
untuk menghafal bahan pelajaran, bukan memahaminya. Ujian nasional juga
dianggap bisa menjadi sumber stres bagi pelajar, bahkan orangtua dan
guru karena ada tuntutan pencapaian nilai yang tinggi.
Keberadaan UN yang lebih mengedepankan capaian nilai akademis dinilai
bertentangan dengan prinsip pendidikan itu sendiri yang juga
membutuhkan aspek psikologis dan perkembangan kepribadian siswa.
Tentang ketidakefektifan UN ini juga pernah disurvei PB Persatuan
Guru Republik Indonesia (PGRI) pada 2012. Hasilnya, bahwa 70% masyarakat
dan guru setuju UN dihapus.
Program penggantian format UN juga mendapat lampu hijau dari Komisi X
DPR RI. Namun, sebagian menyatakan khawatir para guru tidak siap dengan
sistem asesmen yang baru itu.
Alasannya, beberapa sekolah mungkin belum siap diberikan kebebasan
untuk membuat sistem penilaian sendiri karena minimnya fasilitas dan
kualitas guru. Hal tersebut dikhawatirkan bisa memperparah ketimpangan
pendidikan.
Tanggapan yang beragam muncul dari kalangan pemerhati pendidikan.
Sebagian mempertanyakan standar apa yang akan diterapkan secara nasional
bila ujian nasional dihapus. Sebagian lain menilai kebijakan ini
membuat guru lebih leluasa dalam menilai siswa didiknya.
Penilaian utuh
Tidak ada kebijakan tanpa kritik. Menanggapi berbagai kritik dan
kekhawatiran tidak adanya standar akibat penghapusan UN, Nadiem
menegaskan bahwa standar nasional tentu saja ada. Namun, cara penilaian
dan bentuk tesnya akan menjadi kedaulatan pihak sekolah.
Alasan Nadiem hanya pihak sekolahlah yang mengetahui kemampuan
kognisi dan perkembangan psikologis anak. Adapun perihal sekolah yang
belum siap untuk membuat asesmen, Nadiem mengatakan, mereka bisa
menggunakan soal-soal dari USBN atau UN. Pada akhirnya, memberi
kemerdekaan berarti tidak ada paksaan bagi sekolah untuk menggunakan
sistem asesmen.
Pada prinsipnya sekolah dipacu untuk melakukan proses adaptasi. "Bagi
yang belum siap, bagi yang masih mau belajar menggunakan cara penilaian
baru. Silakan. Itu haknya sekolah. Namun, bagi sekolah-sekolah dan guru
yang sudah siap, bisa maju duluan. Dan itu tentunya tidak akan kita
tinggalkan sendiri, kita akan selalu memberikan contoh-contoh," kata
Nadiem saat rapat kerja dengan Komisi X DPR RI.
Satu lagi, pekerjaan rumah yang mendesak ialah meningkatkan
kompetensi guru secara merata. Keberhasilan program Merdeka Belajar akan
sangat ditentukan kompetensi guru yang kondisinya saat ini belum merata. (MEDIA INDONESIA)
0 Komentar