Selama ini terasa bahwa NU dalam mengembangkan pendidikan, lebih
banyak berpihak pada kalangan masyarakat bawah, seperti petani desa,
pedagang, buruh, nelayan dan orang-orang yang berekonomi menengah ke
bawah. Tampak bahwa lembaga pendidikan NU, baik berbentuk pesantren,
madrasah, dan sekolah-sekolah, pada umumnya menampung mereka itu. Namun
saya memandang bahwa, hal itu justru memiliki nilai lebih. Dengan
demikian, NU menjadi konsisten melayani dan mengnagkat harkat masyarakat
menengah ke bawah.
Dalam mengembangkan lembaga pendidikan, seharusnya NU ke depan perlu
memikirkan alternatif yang lebih luas dan menyeluruh, agar amal shaleh
yang dilakukan oleh gerakan organisasi keagamaan yang bersifat kultural
ini memiliki nilai lebih dan sesuai dengan tantangan zamannya. Sudah
barang tentu, apapun yang ditawarkan tidak boleh mengurangi, apalagi
mengubah dasar-dasar keyakinan yang selama ini digariskan atau dijadikan
pegangan.
Salah satu ciri pendidikan di kalangan NU adalah, banyak diurus dan
dikembangkan secara pribadi atau secara individual. Pondok pesantren
misalnya, didirikan, dikelola, dan dikembangkan oleh pribadi atau
keluarga. Begitu juga madrasah atau sekolah. Jika di kalangan warga NU
mendirikan yayasan, biasanya hanya dimaksudkan untuk memenuhi ketentuan
birokrasi pemerintah. Umpama pemerintah tidak mempersyaratkan, mungkin
yayasan sebagai pembina lembaga pendidikan dimaksud belum tentu segera
dibentuk.
Sebenarnya NU sendiri sudah merupakan badan hukum sehingga dapat
menaungi semua lembaga pendidikan yang berada pada organisasi itu.
Tetapi nyatanya, warga NU tatkala mendirikan lembaga pendidikan masih
membuat yayasan sendiri. Namun oleh karena kuatnya ikatan ideologis
terhadap paham ahlussunah wal jamah sebagai pandangan keagamaan anggota
NU, maka lembaga pendidikan yang didirikan dengan menggunakan yayasan
tersendiri dimaksud tetap diangggap sebagai milik NU, atau
setidak-tidaknya tetap menggunakan identitas NU.
Memang secara organisatoris, keadaan seperti itu, dalam hal-hal
tertentu, oleh sementara orang dianggap kurang ideal. Mengikuti kaidah
organisasi, lembaga pendidikan di bawah NU seharusnya terkoordinasi
secara jelas dan rapi. Tetapi keadaan seperti itu, ternyata ada
untungnya. Misalnya, jika di salah satu lembaga pendidikan pada
organisasi ini terjadi konflik sebagai ciri khas kehidupan sosial, maka
konflik itu bisa terlokalisasi dan gema konflik tersebut tidak menyebar
ke mana-mana.
Lembaga pendidikan di kalangan NU sangat banyak, baik dari segi jenis
maupun jumlahnya. NU memiliki ribuan pondok pesantren, madrasah, dan
sekolah. Lembaga pendidikan itu mulai tingkat taman kanak-kanak hingga
perguruan tinggi. Tidak terkecuali adalah lembaga pendidikan pondok
pesantren, berukuran mulai dari yang paling kecil, sederhana, dan diurus
secara pribadi hingga yang besar dan telah berusia ratusan tahun,
semuanya telah dimiliki oleh NU.
Jumlah lembaga pendidikan NU lebih banyak lagi berbentuk madrasah,
mulai dari tingkat dasar yaitu ibtidaiyah, tsanawiyah, maupun aliyah.
Agak berbeda dengan Muhammadiyah, NU lebih banyak memiliki pesantren dan
madrasah. Sementara itu, Muhammadiyah lebih menyukai mendirikan sekolah
umum. Oleh karena itu, di mana-mana NU lebih banyak memiliki pesantren
dan madrasah. Namun pada akhir-akhir ini, NU mulai mengembangkan sekolah
dan juga perguruan tinggi, sementara itu Muhammadiyah sudah lebih lama
mengembangkan jenis lembaga pendidikan itu.
Memperhatikan banyaknya jenis dan jumlah lembaga pendidikan NU
tersebut, maka sudah barang tentu, tatkala melihat potensi pengembangan
pendidikan itu ke depan, seharusnya meliputi semua jenis lembaga
pendidikan, baik pesantren, madrasah, sekolah, dan perguruan tingginya
sekalian. Tulisan singkat dan sederhana berikut ini, hanya sebatas ingin
memberikan pandangan tentang bagaimana seharusnya lembaga pendidikan
dimaksud ke depan dikembangkan. Pandangan ini didasarkan atas pemahaman
terhadap orientasi pendidikannya, organisasi dan kelembagaan, serta
peluang-peluang yang mungkin berpotensi untuk dikembangkan
Pendidikan NU Berbasis Pesantren
Berangkat dari pengamatan dan renungan yang panjang, tampak bahwa
konsep asli pendidikan NU itu adalah pesantren. Sedangkan pendidikan
pesantren itu sendiri jika dicermati adalah sangat mengutamakan akhlak
mulia. Hal itu bisa dilihat dari konsep-konsep ideal yang mewarnai
lembaga pendidikan itu misalnya : tawadhu' , tha'at, ridho, barakah,
khurmah, dan semacamnya. Pendidikan di kalangan NU oleh kyai sebagai
pemegang otoritas utama, diarahkan untuk mencapai atau meraih tingkatan
yang dimaksudkan itu.
Pendidikan dikatakan berhasil oleh kyai adalah manakala mampu
melahirkan orang yang penuh tawadhu, thaat, khurmah, untuk selanjutnya
agar yang bersangkutan mendapatkan ridha dan barakah. Pendidikan bagi
kyai, bukan sebatas menstransfer ilmu pengetahuan, tetapi adalah
merupakan proses untuk mentransfer kepribadian. Pendidikan yang
dipandang bisa menghasilkan pribadi-pribadi semacam itu, tidak lain
adalah pesantren.
Oleh karena itu sesungguhnya pendidikan di pesantren adalah sangat
berbeda dibanding pendidikan di sekolah umum. Pendidikan pesantren, para
santri bertempat tinggal bersama kyai atau pengasuh sepanjang waktu. Di
pesantren selalu dibangun masjid, rumah kyai, dan tempat tinggal para
santri. Semua fasilitas dan pendekatan pendidikan yang diselenggarakan,
disesuikan dengan tujuan pendidikan yang ingin diraih sebagaimana
dikemukakan di muka.
Membandingkan pendidikan pesantren dengan pendidikan umum
sesungguhnya kurang tepat. Berbeda dengan pesantren, pendidikan umum
hanya sebatas mengembangkan ranah nalar, kecerdasan, dan ketrampilan.
Sedangkan pendidikan pesantren lebih mengutamakan pada upaya membentuk
pribadi luhur berdasar nilai-nilai ajaran Islam. Oleh karena itu,
sesungguhnya kedua jenis pendidikan itu memang berbeda dari banyak
aspeknya.
Sementara orang, oleh karena kurang mengerti, mereka mengatakan bahwa
pendidikan pesantren telah tertinggal dibanding sekolah umum. Padahal
Kyai tidak pernah merasakan adanya ketertinggalan. Bahkan umpama kyai
pengasuh pesantren diminta mengubah lembaga pendidikannya agar menjadi
sekolah umum, pasti akan ditolak. Justru sebaliknya, menurut kyai,
pendidikan umum selama ini masih menyandang banyak kekurangan yang harus
diperbaiki. Sekolah umum, mungkin benar bisa melahirkan orang pintar,
tetapi jika kepintaran itu tidak didasari oleh akhlak luhur, maka bisa
jadi, akan membahayakan atau membuat kerusakan bagi kehidupan dirinya
sendiri maupun orang lain.
Akhir-akhir ini sebatas untuk memenuhi tuntutan keadaan, tidak
sedikit pesantren membuka sekolah umum, baik berupa madrasah, sekolah,
dan bahkan perguruan tinggi. Namun begitu, biasanya kyai tidak akan
mengubah apalagi menghilangkan tradisi pesantrennya itu. Lembaga
pendidikan modern yang dikembangkan di pesantren adalah sebatas sebagai
upaya beradaptasi dengan tuntutan masyarakat. Posisi lembaga pendidikan
umum di pesantren, dimaksudkan untuk memperkukuh pendidikan yang ada
sebelumnya. Artinya, sekalipun ada sekolah umum, tradisi pesantren
berupa pengajaran kitab kuning melalui bandongan, wekton dan sorogan
masih dipertahankan.
Persoalan penting yang sudah sekian lama dihadapi oleh pesantren
adalah bahwa keberadaannya belum mendapatkan pengakuan dari pemerintah,
termasuk oleh Kementerian Agama sendiri. Padahal pendidikan pesantren
sudah lahir sebelum lembaga-lembaga pendidikan modern muncul. Lebih dari
itu, pesantren dalam sejarahnya, telah memberikan andil besar pada
perjuangan kemerdekaan negeri ini. Berasal dari pesantren pula telah
lahir tokoh-tokoh Islam yang memiliki kapabilitas dan integritas yang
tinggi terhadap bangsa ini.
Persoalan pengakuan terhadap pesantren, terutama pesantren salaf dan
diniyah, akhir-akhir ini semakin dirasakan mendesak untuk diselesaikan.
Sebab tanpa pengakuan pemerintah, selain dirasakan adanya perlakuan
diskriminatif, alumni pesantren tidak bisa mengakses peluang-peluang
strategis di tengah masyarakat, baik terkait dengan lapangan kerja,
studi lanjut, maupun peluang lain ketika mempersyaratkan ijazah formal.
Pengakuan itu terkesan sulit diberikan karena terhalang oleh logika yang
agaknya berbeda antara yang dikembangkan pesantren dan pemerintah.
Pesantren dalam melihat pendidikan lebih mengedepankan aspek yang
bersifat substantive implementatif, sedangkan pemerintah menuntut
persyaratan yang bersifat formal. Seseorang sekalipun tidak memiliki
ijazah, asalkan dianggap alim, akan didatangi para santri. Terkait
waktu, tempat dan sarana belajar tidak menjadi perhatian. Sedangkan
pemerintah lebih mengutamakan persyaratan formal seperti ijazah guru,
tempat belajar, waktu belajar, sarana belajar, kurikulum dan seterusnya.
Bahkan pada akhir-akhir ini pemerintah melalui Badan Standar Pendidikan
Nasional merumuskan berbagai standard pendidikan, yang harus dipenuhi.
Padahal bagi pesantren yang dipentingkan bukan berupa standard yang
bersifat formal, melainkan yang lebih substantive, yaitu adalah hasil
belajarnya.
Umpama pemerintah dalam melihat pesantren tidak sebagaimana melihat
sekolah pada umumnya, tetapi melihatnya sebagaimana apa adanya, yaitu
pesantren ya pesantren, maka niat baik untuk mengakui pendidikan
pesantren tidak ada sesuatu yang sulit. Hambatan itu terjadi, karena
pemerintah ingin membuat standard, sementara pesantren karena merupakan
pendidikan yang lebih bersifat personal, yaitu tergantung pada personal
kyai atau pengasuhnya, maka akan sulit dilakukan. Mestinya, pesantren
dilihat sebagaimana adanya. Pesantren memang berbeda dengan sekolah.
Sehingga keberadaannya tidak perlu disamakan dengan sekolah, melainkan
cukup diakui dan jika mungkin, karena sama-sama memberikan layanan
pendidikan kepada masyarakat, maka diberikan bantuan operasionalnya.
Tiga Posisi Strategis Pendidikan NU
Dalam perkembangannya, NU telah menempatkan lembaga pendidikannya
pada posisi strategis, yaitu sebagai lembaga pendidikan alternative,
partisipatif, dan komplementer. Oleh karena itu, peran-peran NU dalam
pendidikan sesungguhnya amat kaya dan strategis. Hanya saja, ketiga
peran itu secara kualitatif belum banyak yang menonjol, lantaran
berbagai macam kendala, baik internal maupun eksternal, yang semua itu
harus dihadapi.
Peran pendidikan NU yang bersifat alternative adalah pendidikan
pesantren sebagaimana dikemukakan di muka. Pendidikan yang dirintis,
dikelola, dan dikembangkan secara individual oleh para ulama dan tokoh
NU selama ini sudah memberikan sumbangan besar pada masyaratat,
pemerintah, dan bangsa ini. Jumlahnya cukup banyak, yakni menurut data
yang tersedia di Kementrian Agama tidak kurang dari 28.000 buah,
tersebar di seluruh tanah air.
Sekalipun para kyai atau ulama tatkala mendirikan pesantren tidak
menamakan sebagai milik NU, tetapi mereka memiliki ikatan batin yang
kuat pada organisasi para kyai dan ulama ini. Tanpa didaftar sebagai
milik NU, pesantren selalu dikatakan milik organisasi keagamaan terbesar
ini. NU sekalipun secara organisatoris juga tidak ikut mengurus secara
langsung, tetapi karena para pendiri dan pengelola yang sesungguhnya
adalah warga NU, maka pesantren tersebut dianggap milik NU.
Posisi tersebut, menjadikan pesantren tidak merepotkan NU. Bahkan,
organisasi ini bisa jadi justru akan merasa kesulitan tatkala harus
mengkoordinasikannya. Keadaannya seperti itu menjadikan pesantren
seringkali diumpamakan sebagai kerajaan kecil, masing-masing memiliki
otonomi dan kewenangannya sendiri-sendiri. NU merasa memilikinya, tetapi
sesungguhnya juga tidak berkewenangan apa-apa untuk mengaturnya.
Hubungan pesantren dengan NU sebatas pada ikatan emosional atau state of
mind, yaitu kyai atau ulama pemilik pesantren memiliki ikatan ideologis
yang sangat kuat, sekalipun tidak terjalin dalam ikatan struktur
organisasi formal.
Namun demikian, hal itu tidak berarti bahwa antara pesantren dengan
NU tidak ada hubungan. Hubungan itu sangat kokoh. Misalnya, NU akan
menyelenggarakan kegiatan, baik pada tingkat lokal, regional, dan bahkan
nasional, maka pesantren akan mendukung sepenuhnya. Jika NU mengundang
pesantren untuk membahas hal terkait dengan keagamaan atau lainnya, maka
para kyai dan pengasuh pesantren akan hadir. Akan tetapi, sekali lagi,
ikatan secara organisatoris tidak sekokoh ikatan ideologisnya.
Otoritas kyai atau pengasuh pesantren seperti itu, seagaimana
dikemukakan di muka, di antaranya menjadikan sebab pemerintah mengalami
kesulitan dalam memberikan pengakuan terhadap pesantren, terutama bagi
pesantren salaf dan diniyahnya. Pesantren berharap diakui oleh
pemerintah, tetapi karena otoritas kyai sedemikian kuat, maka tidak
mudah diselesaikan. Namun, apapun keadaannya, pesantren sesungguhnya
telah menjadi alternative dan sekaligus memperkaya khazanah pendidikan
di negeri ini.
Peran NU lainnya dalam pengembangan pendidikan adalah bersifat
partisipatif. Peran ini dirupakan dengan mendirikan sekolah-sekolah
formal, seperti madrasah, sekolah, dan bahkan sekolah umum hingga sampai
universitas. Dengan peran ini, maka di mana-mana ada madrasah atau
sekolah, dan universitas dengan menggunakan nama atau setidak-tidaknya
lambang-lambang NU.
Lagi-lagi lembaga pendidikan formal yang dimaksudkan itu pada awalnya
juga didirikan secara perseorangan, baik yang ada di lingkungan
pesantren maupun lainnya. Namun karena para pendiri itu secara idiologis
memiliki ikatan dengan NU, maka kemudian lembaga menggunakan
simbol-simbol organisasi itu. Kenyataan seperti itu menjadikan
pertumbuhannya, terutama dari aspek kuantitatif sangat cepat. Lembaga
pendidikan NU menjadi ada di mana-mana, sampai-sampai jumlahnya kadang
sulit dihitung secara pasti.
Selama ini persoalan yang dihadapi oleh lembaga pendidikan NU, adalah
terkait dengan keterbatasan penyediaan fasilitas dan dukungan dana.
Biaya untuk mengembangkan lembaga pendidikan tersebut diusahakan atau
peroleh secara mandiri. Lembaga pendidikan yang didirikan oleh warga NU,
sekalipun tidak memperoleh support angggaran dari organisasi yang
menaunginya, tetapi memiliki loyalitas yang sedemikian kuat. Mereka
bersemangat untuk berjuang dan sekaligus berkorban. Tidak jarang warga
NU tatkala mendirikan lembaga pendidikan, memanfaatkan harta kekayaan
pribadinya. Orang-orang NU tidak pernah mendapatkan sesuatu dari
organisasinya, melainkan sebaliknya, justru memberikan sesuatu atau
selalu berkontribusi untuk organisasinya.
Pengelolaan anggaran pada organisasi social keagamaan itu cukup
menarik, sederhana tetapi tidak terdengar adanya penyimpangan. Oleh
karena itu pemerintah tatkala menghadapi kesulitan dalam memberantas
korupsi seperti sekarang ini, mestinya bisa belajar banyak dari sikap
mental yang dikembangkan di organisasi sosial keagamaan ini. Sekalipun
tidak ada pengawasan ketat dan juga ancaman risiko pelaku pelanggaran,
ternyata tidak terdengar berbagai berita penyimpangan yang dilakukan
oleh para pemimpin lembaga pendidikan itu. Mereka dengan sukarela
membesarkan organisasi dengan kekuatan idiologis sehingga melahirkan
kecintaan dan loyalitas itu. Bangsa ini sesungguhnya juga memiliki
idiologi yang semestinya juga bisa digunakan untuk menyelesaikan
persoalan tersebut.
Posisi strategis lembaga pendidikan NU lainnya adalah sebagai
komplementer. Jenis pendidikan yang dimaksudkan ini berupa pesantren,
mahad, atau diniyah yang menyatu dengan sekolah formal, termasuk pada
lembaga pendidikan yang berstatus negeri. Posisi strategis ini belum
banyak dikembangkan, tetapi akhir-akhir ini sudah mulai tampak di
beberapa tempat. Adanya lembaga pendidikan diniyah di berbagai sekolah
umum seperti di SD, SMP, dan SMA, SMK dan juga mahad aly di
kampus-kampus kiranya sangat strategis untuk dijadikan basis
pengembangan ideologi atau dakwah NU.
Saya membayangkan, apabila warga NU, atau mungkin juga secara
organisasi, NU merintis kerjasama dengan sekolah-sekolah di berbagai
jenjang pendidikan, dengan mendirikan diniyah di sore hari, maka tanpa
menambah jam pelajaran agama, maka organisasi keagamaan yang dipimpin
oleh para kyai atau ulama ini akan dapat memanfaatkan peluang yang
sangat terbuka untuk melengkapi pendidikan umum, baik negeri maupun
swasta, yang ada di semua wilayah.
Pada saat ini rupanya sedang mulai muncul di berbagai tempat,
semangat melengkapi pendidikan formal dengan apa yang disebut dengan
mahad ini. Madrasah dan juga sekolah yang mengembangkan pendidikan
dengan istilah boarding school tersebut, pada hakikatnya adalah bentuk
lain dari pesantren. NU perlu mengambil langkah-langkah strategis,
memanfaatkan fenomena bermunculannya konsep boarding school atau mahad
madrasah atau mahad kampus ini.
Dalam mengelola boarding school, kiranya warga NU memiliki pengalaman
yang cukup banyak, apalagi bagi mereka yang pernah mengenyam pendidikan
pesantren. Namun terlepas dari itu semua, sesungguhnya dengan lahirnya
mahad di madrasah, di sekolah, atau juga di perguruan tinggi, semisal di
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, adalah merupakan kemenangan ideologi
pesantren. Oleh karena itu jika warga NU tidak segera merespon konsep
boarding school dimaksud, maka momentum strategis itu akan hilang
percuma dan bisa jadi akan dimanfaatkan oleh pihak-pihak lain. NU
sepanjang sejarahnya telah menjadi pelopor dalam pengelolaan pendidikan
berasrama, sehingga seharusnya, peluang dimaksud tidak boleh dilewatkan
begitu saja.
Peran dan Langkah Strategis Yang Perlu Dikembangkan
Idealnya seluruh lembaga pendidikan yang dimiliki oleh NU
terkoordinasi secara rapi dan jelas. Akan tetapi, karena lembaga
pendidikan tersebut tumbuh dari bawah, yaitu didirikan, dikembangkan,
dan dikelola oleh warga NU secara personal, atau berkelompok, maka
keinginan menyatukan dan mengkoordinasi, ternyata tidak mudah dilakukan,
kalau tidak dikatakan mustahil dicapai. Oleh karena itu niat
mengkoordinasi, baik dari aspek administrasi maupun manajemennya, untuk
sementara waktu, menurut hemat saya, tidak perlu dipaksakan. Ikatan
lembaga pendidikan NU baik secara regional maupun nasional cukup
dikembangkan pada tataran idiologis atau state of mind saja.
Pengurus NU yang membidangi pendidikan dalam hal ini adalah Marif,
menurut hemat saya bisa mengambil peran strategis lainnya yang
diperlukan seperti misalnya, menjadi mediator, koordinator, dan juga
peran-peran advokatif tatkala menghadapi pemerintah, maupun
lembaga-lembaga lain yang diperlukan. Selain itu, juga bisa mengambil
peran sebagai kekuatan memperkukuh kelembagaan, sumber informasi, maupun
memberikan ide-ide inovatif lainnya. Terkait hubungannya dengan
pemerintah misalnya, lembaga itu bisa melakukan mediasi dan advokasi
yang biasanya memerlukan pada setiap saat.
Peran tersebut mungkin dianggap kecil, tetapi sesungguhnya sangat
diperlukan. Sebagai contoh, tatkala muncul inovasi di perguruan tinggi
berupa pembangunan Rusunawa (rumah susun sederhana untuk mahasiswa),
maka Lembaga Maarif berpeluang menjadi mediator dan bahkan juga
menawarkan konsep-konsep pengembangannya. Tampak bahwa hingga sekarang
Rusunawa baru difungsikan sebagai tempat tinggal mahasiswa. Maka NU
dengan pengalaman panjang mengembangkan pesantren, berpeluang menawarkan
konsep pemanfaatan fasilitas tersebut. NU sangat kaya pengalaman yang
diperlukan dalam mengelola Rusunawa untuk difungsikan sebagai ma'had.
Selain itu, dalam memajukan lembaga pendidikan, pasti memerlukan
peran-peran publikatif dan pencitraan. NU melalui para kyai, ulama, dan
tokohnya bisa menjelaskan tentang lembaga pendidikan yang selama ini
dikembangkan. Melalui peran para pemuka organisasi ini akan terbangun
citra positif tentang lembaga pendidikan yang telah dikembangkan secara
maksimal.
Peran-peran strategis tersebut ternyata belum banyak dimainkan.
Bahkan disengaja atau tidak, atau pasti tidak disengaja, sering
terdengar adanya tokoh yang justru menerangkan bahwa lembaga pendidikan
yang dikelola para kyai atau ulama masih mengalami ketertinggalan.
Penjelasan tokoh dimaksud juga diikuti dengan mengirim anak atau
keluarganya ke sekolah-sekolah yang bukan milik organisasinya sendiri.
Akhirnya, terbangun kepercayaan bahwa lembaga pendidikan yang berada di
bawah pembinaan NU belum maju. Hal yang merugikan seperti ini terjadi
oleh karena belum ada koordinasi yang kuat.
Membangun apapun, tidak terkecuali lembaga pendidikan di era
kompetitif seperti sekarang ini, kegiatan publikasi adalah sangat
penting. Segenap pemimpin organisasi yang membawahi lembaga pendidikan
harus ikut mempublikasikan dan membangun citra positif secara
bersama-sama Bahwa lembaga pendidikan yang berada di bawah Ma'arif,
telah memiliki kelebihan tersendiri yang tidak dimiliki oleh jenis
lembaga pendidikan lainnya. Kelebihan itu justru yang amat mendasar dan
strategis misalnya, dalam membangun watak atau akhlak, spiritual,
disamping bekal ilmu dan ketrampilan sebagaimana lembaga pendidikan pada
umumnya. Melalui gerakan bersama-sama itu maka diharapkan semua warga
NU tanpa terkecuali menjadi bangga dengan lembaga pendidikan miliknya
sendiri dan mendukung dengan cara apa saja yang bisa dilakukan.
Jika warga NU yang jumlahnya sedemikian besar berhasil digerakkan
untuk membesarkan lembaga pendidikannya sendiri, maka tidak akan sulit
memenangkan kompetisi yang semakin tajam di masa mendatang. Atas
keberhasilan usaha bersama itu, maka warga NU akan semakin bangga dengan
lembaga pendidikannya sendiri. Lebih dari itu, anak-anak mereka akan
dididik atas dasar filosofi yang selama ini diperjuangkan. NU selama ini
dalam membangun lembaga pendidikan bukan sebatas ikut-ikutan, melainkan
mendasarkan pada filosofinya itu. Dengan cara itu, maka lembaga
pendidikan yang dikelola oleh NU akan menjadi pilihan utama bagi
warganya sendiri, dan syukur juga bagi orang lain atas dasar alasan
rasional, yaitu filosofi yang dikembangkan, kualitas, dan atau kelebihan
lainnya. Wallahu alam.
Seperti apa pendidikan NU saat ini?
Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/80195/secara-kuantitas-pendidikan-nu-tidak-ada-tandingannya
Konten adalah milik dan hak cipta www.nu.or.id
Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/80195/secara-kuantitas-pendidikan-nu-tidak-ada-tandingannya
Konten adalah milik dan hak cipta www.nu.or.id
Seperti apa pendidikan
NU saat ini?
Secara kuantitas, saya kira pendidikan NU tidak ada tandingannya. NU
adalah ormas yang memiliki lembaga pendidikan terbesar di Indonesia.
Sampai sekarang pendidikan NU terus berkembang.
Faktor apa yang menyebabkan pendidikan NU begitu meruah?
Pendidikan NU bisa eksis dan bertahan bahkan semakin banyak karena
mentalitas kader-kader NU di bidang pendidikan sangat kuat. Itu didasari
oleh etos kerja mereka yang tumbuh dari ajaran agama.
Salah atu ajaran agama yang menjadi pegangan kader-kader NU dalam bidang
pendidikan adalah bahwa menyelenggarakan pendidikan itu tanda dari ilmu
yang bermanfaat. Di dalam hadis Nabi disebutkan bahwa ilmu yang
bermanfaat adalah salah satu bekal amal ibadah yang pahalanya tidak
putus-putus meski sudah meninggal.
Dari ajaran agama itu, etos ini menjadi nilai yang hidup dan mengakar
kuat di dalam diri Nahdliyin. Sehingga kalau kita tanya berapa jumlah
sekolah, berapa jumlah madrasah, lembaga formal, informal, atau pun
nonformal, pasti yang terbanyak orang NU.
Orientasi pendidikan NU itu seperti apa?
Ilmu pendidikan zaman modern selalu mengaitkan bahwa output dari orang
yang belajar adalah akses kerja. Pada dasarnya pendidikan itu ada input,
proses, dan output. Di dalam standar pendidikan nasional, ada delapan
output. Ouput adalah salah satu standar kompetensi kelulusan. Kalau ada
mahasiswa S1 di bidang musik, dia bisa apa dan bekerja dimana.
Kalau dulu tidak ada urusan yang seperti itu karena yang namanya bekerja
itu adalah akibat dari proses hidup. Mereka bebas untuk hidup seperti
apa, namun yang terpenting adalah mereka bisa memberikan manfaat kepada
orang lain. Sehingga orientasi pendidikan pada zaman itu betul-betul
berorientasi pada proses.
Kalau disebut-sebut bahwa pendidikan itu adalah proses memanusiakan
manusia atau pendidikan karakter yaitu sebenarnya pendidikan NU.
Pendidikan karakter orientasinya adalah pada keteladanan guru.
Standar Nasional Pendidikan (SNP) itu ada delapan. Yang 3 tidak terkait
dengan guru, yaitu standar pendanaan, manajemen, dan sarana-prasarana.
Sedangkan yang 5 selalu berkaitan dengan guru. Oleh karena itu, guru itu
betul-betul merupakan kunci perubahan.
Model pendidikan NU?
Model pendidikan NU itu adalah model pendidikan yang sangat bagus. Dalam
artian, saat kita mendidik orang itu jangan terlalu disibukkan outpunya
tetapi lebih menyibukkan dengan bagaimana proses dari pendidikan itu,
yaitu bagaimana memanusiakan manusia.
Tujuannya?
Ilmu yang bermanfaat adalah merupakan salah satu tujuan daripada
pendidikan yang ada di NU. Minimal bermanfaat untuk diri sendiri, baru
kemudian bermanfaat untuk orang lain. Makanya pendidikan di NU tidak
pernah memikirkan tentang seperti apa sekolahnya akan dibangun.
Misalnya seperti pesantren-pesantren besar NU yang ada saat ini itu
tidak pernah memikirkan bagaimana membangun gedung, tetapi bagaimana
seorang guru -yang punya pengaruh besar di dalam proses pendidika itu-
tumbuh sebagai guru laku dan guru yang memberikan keteladanan.
Oleh karena itu, jumlah pendidikan NU sangat banyak karena dua hal.
Pertama, memegang teguh nilai ilmu yang bermanfaat dan yang kedua adalah
berorientasi kepada proses penciptaan pendidikan karakter.
Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj selalu mengatakan bahwa kalau lahir
dan sekolah di NU tidak akan ada yang menjadi teroris. Karena proses
pendidikannya itu sangat menentukan bagaimana antara ilmu agama
dihubungkan dengan adat istiadat setempat sebagai infrastruktur agama.
Nah, yang menjadi pertanyaan adalah bagaiaman kalau konsep itu
dihadapkan dengan orientasi pendidikan saat itu yaitu akses kerja?
Kalau pola ini diterapkan sekarang, maka dianggap kurang berkualitas
karena tidak pernah berfikir pada pasca proses. Pendidikan sekarang
selalu dikaitkan dengan dunia kerja yang polanya terus berkembang sesuai
dengan modernitas dan industri sehingga keahlian juga semakin tumbuh
dan berkembang.
Pendidikan keahlian-keahlian itu yang harus disiapkan oleh sekolah.
Sehingga ukuran pendidikan disebut berkualitas atau tidak itu selalu
dihubungkan dengan akses kerja. Kalau anda sudah terdidik di sebuah
sekolah dan kemudian lulus, anda bisa apa dan diterima dimana. Itu pola
pendidikan saat ini.
Lalu, bagaimana menghadapi itu?
Karena sekarang harus berurusan dengan kualitas atau mutu dan pendidikan
dihubungkan dengan kerja maka mau tidak mau NU juga harus melakukan
penyesuaian-penyesuaian. Dan harus diakui bahwa dalam konteks ini NU
agak tertinggal.
Jadi untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian tujuan pendidikan, NU itu
agak lambat dalam arti bahwa NU masih tetap saja berorientasi kepada dua
hal dia atas, yaitu ilmu yang bermanfaat dan proses.
Bagaimana memperbaikinya?
Harus segera dilakukan penyesuaian-penyesuaian. Banyak juga
lembaga-lembaga pendidikan sekolah atau madrasah NU, lembaga-lembaga
pendidikan pesantren NU yang sudah melakukan penyesuaian-penyesuaian.
Tetapi secara keseluruhan bisa dikatakan bahwa belum sepenuhnya bisa
karena begitu banyaknya jumlah lembaga pendidikan NU.
Terus, bagaimana caranya melakukan penyesuaian-penyesuaian tersebut dan
harus dimulai dari mana?
Pertama kita bicara peran negara. Ada empat tujuan daripada didirikannya
negara ini, diantaranya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini
adalah tujuan utama dari bernegara dan ini kaitannya dengan pendidikan.
Mencerdaskan itu bukan hanya pada aspek kognitif saja, kecerdasan itu
kan mencerdaskan kehidupan. Artinya, implementasi dari ilmu pendidikan
itu melahirkan kemudahan-kemudahan dan produktivitas-produktivitas
dimana anak bangsa bisa dengan mudah menciptakan kesejahteraannya.
Itu adalah kebijakan negara menciptakan kebijakan-kebijakan. Derivasi
dari tujuan bernegara ini, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa,
dirumuskan di dalam UUD 1945. Ada banyak pasal-pasal yang menjelaskan
mengenai bagaimana cerdas dalam kehidupan. Intinya adalah pendidikan itu
merupakan hak dasar bagi setiap warga negara yang harus disiapkan oleh
negara.
Oleh karena itu, negara wajib menyelenggarakan dan tidak boleh ada
diskriminasi. Diskriminasi itu masih terjadi dimana-mana. Misalnya,
sarana antara madrasah dan sekolah negeri beda, perlakuan di Papua dan
di Jawa beda. Ini tidak boleh terjadi.
Kedua kita bicara internal. NU juga harus memperbaiki manajemen yang ada
dan meningkatkan kompetensi dan profesionalisme guru yang mengajar di
sekolah-sekolah NU.
Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/80195/secara-kuantitas-pendidikan-nu-tidak-ada-tandingannya
Konten adalah milik dan hak cipta www.nu.or.id
Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/80195/secara-kuantitas-pendidikan-nu-tidak-ada-tandingannya
Konten adalah milik dan hak cipta www.nu.or.id
Seperti apa pendidikan
NU saat ini?
Secara kuantitas, saya kira pendidikan NU tidak ada tandingannya. NU
adalah ormas yang memiliki lembaga pendidikan terbesar di Indonesia.
Sampai sekarang pendidikan NU terus berkembang.
Faktor apa yang menyebabkan pendidikan NU begitu meruah?
Pendidikan NU bisa eksis dan bertahan bahkan semakin banyak karena
mentalitas kader-kader NU di bidang pendidikan sangat kuat. Itu didasari
oleh etos kerja mereka yang tumbuh dari ajaran agama.
Salah atu ajaran agama yang menjadi pegangan kader-kader NU dalam bidang
pendidikan adalah bahwa menyelenggarakan pendidikan itu tanda dari ilmu
yang bermanfaat. Di dalam hadis Nabi disebutkan bahwa ilmu yang
bermanfaat adalah salah satu bekal amal ibadah yang pahalanya tidak
putus-putus meski sudah meninggal.
Dari ajaran agama itu, etos ini menjadi nilai yang hidup dan mengakar
kuat di dalam diri Nahdliyin. Sehingga kalau kita tanya berapa jumlah
sekolah, berapa jumlah madrasah, lembaga formal, informal, atau pun
nonformal, pasti yang terbanyak orang NU.
Orientasi pendidikan NU itu seperti apa?
Ilmu pendidikan zaman modern selalu mengaitkan bahwa output dari orang
yang belajar adalah akses kerja. Pada dasarnya pendidikan itu ada input,
proses, dan output. Di dalam standar pendidikan nasional, ada delapan
output. Ouput adalah salah satu standar kompetensi kelulusan. Kalau ada
mahasiswa S1 di bidang musik, dia bisa apa dan bekerja dimana.
Kalau dulu tidak ada urusan yang seperti itu karena yang namanya bekerja
itu adalah akibat dari proses hidup. Mereka bebas untuk hidup seperti
apa, namun yang terpenting adalah mereka bisa memberikan manfaat kepada
orang lain. Sehingga orientasi pendidikan pada zaman itu betul-betul
berorientasi pada proses.
Kalau disebut-sebut bahwa pendidikan itu adalah proses memanusiakan
manusia atau pendidikan karakter yaitu sebenarnya pendidikan NU.
Pendidikan karakter orientasinya adalah pada keteladanan guru.
Standar Nasional Pendidikan (SNP) itu ada delapan. Yang 3 tidak terkait
dengan guru, yaitu standar pendanaan, manajemen, dan sarana-prasarana.
Sedangkan yang 5 selalu berkaitan dengan guru. Oleh karena itu, guru itu
betul-betul merupakan kunci perubahan.
Model pendidikan NU?
Model pendidikan NU itu adalah model pendidikan yang sangat bagus. Dalam
artian, saat kita mendidik orang itu jangan terlalu disibukkan outpunya
tetapi lebih menyibukkan dengan bagaimana proses dari pendidikan itu,
yaitu bagaimana memanusiakan manusia.
Tujuannya?
Ilmu yang bermanfaat adalah merupakan salah satu tujuan daripada
pendidikan yang ada di NU. Minimal bermanfaat untuk diri sendiri, baru
kemudian bermanfaat untuk orang lain. Makanya pendidikan di NU tidak
pernah memikirkan tentang seperti apa sekolahnya akan dibangun.
Misalnya seperti pesantren-pesantren besar NU yang ada saat ini itu
tidak pernah memikirkan bagaimana membangun gedung, tetapi bagaimana
seorang guru -yang punya pengaruh besar di dalam proses pendidika itu-
tumbuh sebagai guru laku dan guru yang memberikan keteladanan.
Oleh karena itu, jumlah pendidikan NU sangat banyak karena dua hal.
Pertama, memegang teguh nilai ilmu yang bermanfaat dan yang kedua adalah
berorientasi kepada proses penciptaan pendidikan karakter.
Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj selalu mengatakan bahwa kalau lahir
dan sekolah di NU tidak akan ada yang menjadi teroris. Karena proses
pendidikannya itu sangat menentukan bagaimana antara ilmu agama
dihubungkan dengan adat istiadat setempat sebagai infrastruktur agama.
Nah, yang menjadi pertanyaan adalah bagaiaman kalau konsep itu
dihadapkan dengan orientasi pendidikan saat itu yaitu akses kerja?
Kalau pola ini diterapkan sekarang, maka dianggap kurang berkualitas
karena tidak pernah berfikir pada pasca proses. Pendidikan sekarang
selalu dikaitkan dengan dunia kerja yang polanya terus berkembang sesuai
dengan modernitas dan industri sehingga keahlian juga semakin tumbuh
dan berkembang.
Pendidikan keahlian-keahlian itu yang harus disiapkan oleh sekolah.
Sehingga ukuran pendidikan disebut berkualitas atau tidak itu selalu
dihubungkan dengan akses kerja. Kalau anda sudah terdidik di sebuah
sekolah dan kemudian lulus, anda bisa apa dan diterima dimana. Itu pola
pendidikan saat ini.
Lalu, bagaimana menghadapi itu?
Karena sekarang harus berurusan dengan kualitas atau mutu dan pendidikan
dihubungkan dengan kerja maka mau tidak mau NU juga harus melakukan
penyesuaian-penyesuaian. Dan harus diakui bahwa dalam konteks ini NU
agak tertinggal.
Jadi untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian tujuan pendidikan, NU itu
agak lambat dalam arti bahwa NU masih tetap saja berorientasi kepada dua
hal dia atas, yaitu ilmu yang bermanfaat dan proses.
Bagaimana memperbaikinya?
Harus segera dilakukan penyesuaian-penyesuaian. Banyak juga
lembaga-lembaga pendidikan sekolah atau madrasah NU, lembaga-lembaga
pendidikan pesantren NU yang sudah melakukan penyesuaian-penyesuaian.
Tetapi secara keseluruhan bisa dikatakan bahwa belum sepenuhnya bisa
karena begitu banyaknya jumlah lembaga pendidikan NU.
Terus, bagaimana caranya melakukan penyesuaian-penyesuaian tersebut dan
harus dimulai dari mana?
Pertama kita bicara peran negara. Ada empat tujuan daripada didirikannya
negara ini, diantaranya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini
adalah tujuan utama dari bernegara dan ini kaitannya dengan pendidikan.
Mencerdaskan itu bukan hanya pada aspek kognitif saja, kecerdasan itu
kan mencerdaskan kehidupan. Artinya, implementasi dari ilmu pendidikan
itu melahirkan kemudahan-kemudahan dan produktivitas-produktivitas
dimana anak bangsa bisa dengan mudah menciptakan kesejahteraannya.
Itu adalah kebijakan negara menciptakan kebijakan-kebijakan. Derivasi
dari tujuan bernegara ini, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa,
dirumuskan di dalam UUD 1945. Ada banyak pasal-pasal yang menjelaskan
mengenai bagaimana cerdas dalam kehidupan. Intinya adalah pendidikan itu
merupakan hak dasar bagi setiap warga negara yang harus disiapkan oleh
negara.
Oleh karena itu, negara wajib menyelenggarakan dan tidak boleh ada
diskriminasi. Diskriminasi itu masih terjadi dimana-mana. Misalnya,
sarana antara madrasah dan sekolah negeri beda, perlakuan di Papua dan
di Jawa beda. Ini tidak boleh terjadi.
Kedua kita bicara internal. NU juga harus memperbaiki manajemen yang ada
dan meningkatkan kompetensi dan profesionalisme guru yang mengajar di
sekolah-sekolah NU.
Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/80195/secara-kuantitas-pendidikan-nu-tidak-ada-tandingannya
Konten adalah milik dan hak cipta www.nu.or.id
Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/80195/secara-kuantitas-pendidikan-nu-tidak-ada-tandingannya
Konten adalah milik dan hak cipta www.nu.or.id
0 Komentar