About Me

MTS DARUL MA'ARIF

Jl. Syekh Basyaruddin No. 01 Pringapus 50553 Telp (024) 6930429 Email: maarif_010168@yahoo.com Blog : maarifpringapus.blogspot.comPenerimaan Siswa Baru TA 2021-2022, Gelombang 1 Dimulai 11 Jan 2021 s/d 28 Februari 2021 , Gelombang 2 Dimulai 01 Maret 2021 s/d 30 April 2021, Gelombang 3 Dimulai 01 April 2021 s/d 15 Juni 2021. Daftar Online : http://gg.gg/PPDB_MTSDM_2021_2022. Let's Join Us

MENUJU PENDIDIKAN BERBASIS ISLAMI

Selama ini terasa bahwa NU dalam mengembangkan pendidikan, lebih banyak berpihak pada kalangan masyarakat bawah, seperti petani desa, pedagang, buruh, nelayan dan orang-orang yang berekonomi menengah ke bawah. Tampak bahwa lembaga pendidikan NU, baik berbentuk pesantren, madrasah, dan sekolah-sekolah, pada umumnya menampung mereka itu. Namun saya memandang bahwa, hal itu justru memiliki nilai lebih. Dengan demikian, NU menjadi konsisten melayani dan mengnagkat harkat masyarakat menengah ke bawah. 

Dalam mengembangkan lembaga pendidikan, seharusnya NU ke depan perlu memikirkan alternatif yang lebih luas dan menyeluruh, agar amal shaleh yang dilakukan oleh gerakan organisasi keagamaan yang bersifat kultural ini memiliki nilai lebih dan sesuai dengan tantangan zamannya. Sudah barang tentu, apapun yang ditawarkan tidak boleh mengurangi, apalagi mengubah dasar-dasar keyakinan yang selama ini digariskan atau dijadikan pegangan. 

Salah satu ciri pendidikan di kalangan NU adalah, banyak diurus dan dikembangkan secara pribadi atau secara individual. Pondok pesantren misalnya, didirikan, dikelola, dan dikembangkan oleh pribadi atau keluarga. Begitu juga madrasah atau sekolah. Jika di kalangan warga NU mendirikan yayasan, biasanya hanya dimaksudkan untuk memenuhi ketentuan birokrasi pemerintah. Umpama pemerintah tidak mempersyaratkan, mungkin yayasan sebagai pembina lembaga pendidikan dimaksud belum tentu segera dibentuk. 

Sebenarnya NU sendiri sudah merupakan badan hukum sehingga dapat menaungi semua lembaga pendidikan yang berada pada organisasi itu. Tetapi nyatanya, warga NU tatkala mendirikan lembaga pendidikan masih membuat yayasan sendiri. Namun oleh karena kuatnya ikatan ideologis terhadap paham ahlussunah wal jamah sebagai pandangan keagamaan anggota NU, maka lembaga pendidikan yang didirikan dengan menggunakan yayasan tersendiri dimaksud tetap diangggap sebagai milik NU, atau setidak-tidaknya tetap menggunakan identitas NU. 

Memang secara organisatoris, keadaan seperti itu, dalam hal-hal tertentu, oleh sementara orang dianggap kurang ideal. Mengikuti kaidah organisasi, lembaga pendidikan di bawah NU seharusnya terkoordinasi secara jelas dan rapi. Tetapi keadaan seperti itu, ternyata ada untungnya. Misalnya, jika di salah satu lembaga pendidikan pada organisasi ini terjadi konflik sebagai ciri khas kehidupan sosial, maka konflik itu bisa terlokalisasi dan gema konflik tersebut tidak menyebar ke mana-mana.
Lembaga pendidikan di kalangan NU sangat banyak, baik dari segi jenis maupun jumlahnya. NU memiliki ribuan pondok pesantren, madrasah, dan sekolah. Lembaga pendidikan itu mulai tingkat taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Tidak terkecuali adalah lembaga pendidikan pondok pesantren, berukuran mulai dari yang paling kecil, sederhana, dan diurus secara pribadi hingga yang besar dan telah berusia ratusan tahun, semuanya telah dimiliki oleh NU. 



Jumlah lembaga pendidikan NU lebih banyak lagi berbentuk madrasah, mulai dari tingkat dasar yaitu ibtidaiyah, tsanawiyah, maupun aliyah. Agak berbeda dengan Muhammadiyah, NU lebih banyak memiliki pesantren dan madrasah. Sementara itu, Muhammadiyah lebih menyukai mendirikan sekolah umum. Oleh karena itu, di mana-mana NU lebih banyak memiliki pesantren dan madrasah. Namun pada akhir-akhir ini, NU mulai mengembangkan sekolah dan juga perguruan tinggi, sementara itu Muhammadiyah sudah lebih lama mengembangkan jenis lembaga pendidikan itu. 

Memperhatikan banyaknya jenis dan jumlah lembaga pendidikan NU tersebut, maka sudah barang tentu, tatkala melihat potensi pengembangan pendidikan itu ke depan, seharusnya meliputi semua jenis lembaga pendidikan, baik pesantren, madrasah, sekolah, dan perguruan tingginya sekalian. Tulisan singkat dan sederhana berikut ini, hanya sebatas ingin memberikan pandangan tentang bagaimana seharusnya lembaga pendidikan dimaksud ke depan dikembangkan. Pandangan ini didasarkan atas pemahaman terhadap orientasi pendidikannya, organisasi dan kelembagaan, serta peluang-peluang yang mungkin berpotensi untuk dikembangkan
Pendidikan NU Berbasis Pesantren 

Berangkat dari pengamatan dan renungan yang panjang, tampak bahwa konsep asli pendidikan NU itu adalah pesantren. Sedangkan pendidikan pesantren itu sendiri jika dicermati adalah sangat mengutamakan akhlak mulia. Hal itu bisa dilihat dari konsep-konsep ideal yang mewarnai lembaga pendidikan itu misalnya : tawadhu' , tha'at, ridho, barakah, khurmah, dan semacamnya. Pendidikan di kalangan NU oleh kyai sebagai pemegang otoritas utama, diarahkan untuk mencapai atau meraih tingkatan yang dimaksudkan itu. 

Pendidikan dikatakan berhasil oleh kyai adalah manakala mampu melahirkan orang yang penuh tawadhu, thaat, khurmah, untuk selanjutnya agar yang bersangkutan mendapatkan ridha dan barakah. Pendidikan bagi kyai, bukan sebatas menstransfer ilmu pengetahuan, tetapi adalah merupakan proses untuk mentransfer kepribadian. Pendidikan yang dipandang bisa menghasilkan pribadi-pribadi semacam itu, tidak lain adalah pesantren. 

Oleh karena itu sesungguhnya pendidikan di pesantren adalah sangat berbeda dibanding pendidikan di sekolah umum. Pendidikan pesantren, para santri bertempat tinggal bersama kyai atau pengasuh sepanjang waktu. Di pesantren selalu dibangun masjid, rumah kyai, dan tempat tinggal para santri. Semua fasilitas dan pendekatan pendidikan yang diselenggarakan, disesuikan dengan tujuan pendidikan yang ingin diraih sebagaimana dikemukakan di muka. 

Membandingkan pendidikan pesantren dengan pendidikan umum sesungguhnya kurang tepat. Berbeda dengan pesantren, pendidikan umum hanya sebatas mengembangkan ranah nalar, kecerdasan, dan ketrampilan. Sedangkan pendidikan pesantren lebih mengutamakan pada upaya membentuk pribadi luhur berdasar nilai-nilai ajaran Islam. Oleh karena itu, sesungguhnya kedua jenis pendidikan itu memang berbeda dari banyak aspeknya. 

Sementara orang, oleh karena kurang mengerti, mereka mengatakan bahwa pendidikan pesantren telah tertinggal dibanding sekolah umum. Padahal Kyai tidak pernah merasakan adanya ketertinggalan. Bahkan umpama kyai pengasuh pesantren diminta mengubah lembaga pendidikannya agar menjadi sekolah umum, pasti akan ditolak. Justru sebaliknya, menurut kyai, pendidikan umum selama ini masih menyandang banyak kekurangan yang harus diperbaiki. Sekolah umum, mungkin benar bisa melahirkan orang pintar, tetapi jika kepintaran itu tidak didasari oleh akhlak luhur, maka bisa jadi, akan membahayakan atau membuat kerusakan bagi kehidupan dirinya sendiri maupun orang lain. 

Akhir-akhir ini sebatas untuk memenuhi tuntutan keadaan, tidak sedikit pesantren membuka sekolah umum, baik berupa madrasah, sekolah, dan bahkan perguruan tinggi. Namun begitu, biasanya kyai tidak akan mengubah apalagi menghilangkan tradisi pesantrennya itu. Lembaga pendidikan modern yang dikembangkan di pesantren adalah sebatas sebagai upaya beradaptasi dengan tuntutan masyarakat. Posisi lembaga pendidikan umum di pesantren, dimaksudkan untuk memperkukuh pendidikan yang ada sebelumnya. Artinya, sekalipun ada sekolah umum, tradisi pesantren berupa pengajaran kitab kuning melalui bandongan, wekton dan sorogan masih dipertahankan. 

Persoalan penting yang sudah sekian lama dihadapi oleh pesantren adalah bahwa keberadaannya belum mendapatkan pengakuan dari pemerintah, termasuk oleh Kementerian Agama sendiri. Padahal pendidikan pesantren sudah lahir sebelum lembaga-lembaga pendidikan modern muncul. Lebih dari itu, pesantren dalam sejarahnya, telah memberikan andil besar pada perjuangan kemerdekaan negeri ini. Berasal dari pesantren pula telah lahir tokoh-tokoh Islam yang memiliki kapabilitas dan integritas yang tinggi terhadap bangsa ini. 

Persoalan pengakuan terhadap pesantren, terutama pesantren salaf dan diniyah, akhir-akhir ini semakin dirasakan mendesak untuk diselesaikan. Sebab tanpa pengakuan pemerintah, selain dirasakan adanya perlakuan diskriminatif, alumni pesantren tidak bisa mengakses peluang-peluang strategis di tengah masyarakat, baik terkait dengan lapangan kerja, studi lanjut, maupun peluang lain ketika mempersyaratkan ijazah formal. Pengakuan itu terkesan sulit diberikan karena terhalang oleh logika yang agaknya berbeda antara yang dikembangkan pesantren dan pemerintah. 

Pesantren dalam melihat pendidikan lebih mengedepankan aspek yang bersifat substantive implementatif, sedangkan pemerintah menuntut persyaratan yang bersifat formal. Seseorang sekalipun tidak memiliki ijazah, asalkan dianggap alim, akan didatangi para santri. Terkait waktu, tempat dan sarana belajar tidak menjadi perhatian. Sedangkan pemerintah lebih mengutamakan persyaratan formal seperti ijazah guru, tempat belajar, waktu belajar, sarana belajar, kurikulum dan seterusnya. Bahkan pada akhir-akhir ini pemerintah melalui Badan Standar Pendidikan Nasional merumuskan berbagai standard pendidikan, yang harus dipenuhi. Padahal bagi pesantren yang dipentingkan bukan berupa standard yang bersifat formal, melainkan yang lebih substantive, yaitu adalah hasil belajarnya. 

Umpama pemerintah dalam melihat pesantren tidak sebagaimana melihat sekolah pada umumnya, tetapi melihatnya sebagaimana apa adanya, yaitu pesantren ya pesantren, maka niat baik untuk mengakui pendidikan pesantren tidak ada sesuatu yang sulit. Hambatan itu terjadi, karena pemerintah ingin membuat standard, sementara pesantren karena merupakan pendidikan yang lebih bersifat personal, yaitu tergantung pada personal kyai atau pengasuhnya, maka akan sulit dilakukan. Mestinya, pesantren dilihat sebagaimana adanya. Pesantren memang berbeda dengan sekolah. Sehingga keberadaannya tidak perlu disamakan dengan sekolah, melainkan cukup diakui dan jika mungkin, karena sama-sama memberikan layanan pendidikan kepada masyarakat, maka diberikan bantuan operasionalnya. 

Tiga Posisi Strategis Pendidikan NU
Dalam perkembangannya, NU telah menempatkan lembaga pendidikannya pada posisi strategis, yaitu sebagai lembaga pendidikan alternative, partisipatif, dan komplementer. Oleh karena itu, peran-peran NU dalam pendidikan sesungguhnya amat kaya dan strategis. Hanya saja, ketiga peran itu secara kualitatif belum banyak yang menonjol, lantaran berbagai macam kendala, baik internal maupun eksternal, yang semua itu harus dihadapi. 

Peran pendidikan NU yang bersifat alternative adalah pendidikan pesantren sebagaimana dikemukakan di muka. Pendidikan yang dirintis, dikelola, dan dikembangkan secara individual oleh para ulama dan tokoh NU selama ini sudah memberikan sumbangan besar pada masyaratat, pemerintah, dan bangsa ini. Jumlahnya cukup banyak, yakni menurut data yang tersedia di Kementrian Agama tidak kurang dari 28.000 buah, tersebar di seluruh tanah air. 

Sekalipun para kyai atau ulama tatkala mendirikan pesantren tidak menamakan sebagai milik NU, tetapi mereka memiliki ikatan batin yang kuat pada organisasi para kyai dan ulama ini. Tanpa didaftar sebagai milik NU, pesantren selalu dikatakan milik organisasi keagamaan terbesar ini. NU sekalipun secara organisatoris juga tidak ikut mengurus secara langsung, tetapi karena para pendiri dan pengelola yang sesungguhnya adalah warga NU, maka pesantren tersebut dianggap milik NU. 

Posisi tersebut, menjadikan pesantren tidak merepotkan NU. Bahkan, organisasi ini bisa jadi justru akan merasa kesulitan tatkala harus mengkoordinasikannya. Keadaannya seperti itu menjadikan pesantren seringkali diumpamakan sebagai kerajaan kecil, masing-masing memiliki otonomi dan kewenangannya sendiri-sendiri. NU merasa memilikinya, tetapi sesungguhnya juga tidak berkewenangan apa-apa untuk mengaturnya. Hubungan pesantren dengan NU sebatas pada ikatan emosional atau state of mind, yaitu kyai atau ulama pemilik pesantren memiliki ikatan ideologis yang sangat kuat, sekalipun tidak terjalin dalam ikatan struktur organisasi formal.

Namun demikian, hal itu tidak berarti bahwa antara pesantren dengan NU tidak ada hubungan. Hubungan itu sangat kokoh. Misalnya, NU akan menyelenggarakan kegiatan, baik pada tingkat lokal, regional, dan bahkan nasional, maka pesantren akan mendukung sepenuhnya. Jika NU mengundang pesantren untuk membahas hal terkait dengan keagamaan atau lainnya, maka para kyai dan pengasuh pesantren akan hadir. Akan tetapi, sekali lagi, ikatan secara organisatoris tidak sekokoh ikatan ideologisnya. 

Otoritas kyai atau pengasuh pesantren seperti itu, seagaimana dikemukakan di muka, di antaranya menjadikan sebab pemerintah mengalami kesulitan dalam memberikan pengakuan terhadap pesantren, terutama bagi pesantren salaf dan diniyahnya. Pesantren berharap diakui oleh pemerintah, tetapi karena otoritas kyai sedemikian kuat, maka tidak mudah diselesaikan. Namun, apapun keadaannya, pesantren sesungguhnya telah menjadi alternative dan sekaligus memperkaya khazanah pendidikan di negeri ini. 

Peran NU lainnya dalam pengembangan pendidikan adalah bersifat partisipatif. Peran ini dirupakan dengan mendirikan sekolah-sekolah formal, seperti madrasah, sekolah, dan bahkan sekolah umum hingga sampai universitas. Dengan peran ini, maka di mana-mana ada madrasah atau sekolah, dan universitas dengan menggunakan nama atau setidak-tidaknya lambang-lambang NU.
Lagi-lagi lembaga pendidikan formal yang dimaksudkan itu pada awalnya juga didirikan secara perseorangan, baik yang ada di lingkungan pesantren maupun lainnya. Namun karena para pendiri itu secara idiologis memiliki ikatan dengan NU, maka kemudian lembaga menggunakan simbol-simbol organisasi itu. Kenyataan seperti itu menjadikan pertumbuhannya, terutama dari aspek kuantitatif sangat cepat. Lembaga pendidikan NU menjadi ada di mana-mana, sampai-sampai jumlahnya kadang sulit dihitung secara pasti. 

Selama ini persoalan yang dihadapi oleh lembaga pendidikan NU, adalah terkait dengan keterbatasan penyediaan fasilitas dan dukungan dana. Biaya untuk mengembangkan lembaga pendidikan tersebut diusahakan atau peroleh secara mandiri. Lembaga pendidikan yang didirikan oleh warga NU, sekalipun tidak memperoleh support angggaran dari organisasi yang menaunginya, tetapi memiliki loyalitas yang sedemikian kuat. Mereka bersemangat untuk berjuang dan sekaligus berkorban. Tidak jarang warga NU tatkala mendirikan lembaga pendidikan, memanfaatkan harta kekayaan pribadinya. Orang-orang NU tidak pernah mendapatkan sesuatu dari organisasinya, melainkan sebaliknya, justru memberikan sesuatu atau selalu berkontribusi untuk organisasinya.

Pengelolaan anggaran pada organisasi social keagamaan itu cukup menarik, sederhana tetapi tidak terdengar adanya penyimpangan. Oleh karena itu pemerintah tatkala menghadapi kesulitan dalam memberantas korupsi seperti sekarang ini, mestinya bisa belajar banyak dari sikap mental yang dikembangkan di organisasi sosial keagamaan ini. Sekalipun tidak ada pengawasan ketat dan juga ancaman risiko pelaku pelanggaran, ternyata tidak terdengar berbagai berita penyimpangan yang dilakukan oleh para pemimpin lembaga pendidikan itu. Mereka dengan sukarela membesarkan organisasi dengan kekuatan idiologis sehingga melahirkan kecintaan dan loyalitas itu. Bangsa ini sesungguhnya juga memiliki idiologi yang semestinya juga bisa digunakan untuk menyelesaikan persoalan tersebut. 

Posisi strategis lembaga pendidikan NU lainnya adalah sebagai komplementer. Jenis pendidikan yang dimaksudkan ini berupa pesantren, mahad, atau diniyah yang menyatu dengan sekolah formal, termasuk pada lembaga pendidikan yang berstatus negeri. Posisi strategis ini belum banyak dikembangkan, tetapi akhir-akhir ini sudah mulai tampak di beberapa tempat. Adanya lembaga pendidikan diniyah di berbagai sekolah umum seperti di SD, SMP, dan SMA, SMK dan juga mahad aly di kampus-kampus kiranya sangat strategis untuk dijadikan basis pengembangan ideologi atau dakwah NU. 

Saya membayangkan, apabila warga NU, atau mungkin juga secara organisasi, NU merintis kerjasama dengan sekolah-sekolah di berbagai jenjang pendidikan, dengan mendirikan diniyah di sore hari, maka tanpa menambah jam pelajaran agama, maka organisasi keagamaan yang dipimpin oleh para kyai atau ulama ini akan dapat memanfaatkan peluang yang sangat terbuka untuk melengkapi pendidikan umum, baik negeri maupun swasta, yang ada di semua wilayah. 

Pada saat ini rupanya sedang mulai muncul di berbagai tempat, semangat melengkapi pendidikan formal dengan apa yang disebut dengan mahad ini. Madrasah dan juga sekolah yang mengembangkan pendidikan dengan istilah boarding school tersebut, pada hakikatnya adalah bentuk lain dari pesantren. NU perlu mengambil langkah-langkah strategis, memanfaatkan fenomena bermunculannya konsep boarding school atau mahad madrasah atau mahad kampus ini. 

Dalam mengelola boarding school, kiranya warga NU memiliki pengalaman yang cukup banyak, apalagi bagi mereka yang pernah mengenyam pendidikan pesantren. Namun terlepas dari itu semua, sesungguhnya dengan lahirnya mahad di madrasah, di sekolah, atau juga di perguruan tinggi, semisal di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, adalah merupakan kemenangan ideologi pesantren. Oleh karena itu jika warga NU tidak segera merespon konsep boarding school dimaksud, maka momentum strategis itu akan hilang percuma dan bisa jadi akan dimanfaatkan oleh pihak-pihak lain. NU sepanjang sejarahnya telah menjadi pelopor dalam pengelolaan pendidikan berasrama, sehingga seharusnya, peluang dimaksud tidak boleh dilewatkan begitu saja. 

Peran dan Langkah Strategis Yang Perlu Dikembangkan
Idealnya seluruh lembaga pendidikan yang dimiliki oleh NU terkoordinasi secara rapi dan jelas. Akan tetapi, karena lembaga pendidikan tersebut tumbuh dari bawah, yaitu didirikan, dikembangkan, dan dikelola oleh warga NU secara personal, atau berkelompok, maka keinginan menyatukan dan mengkoordinasi, ternyata tidak mudah dilakukan, kalau tidak dikatakan mustahil dicapai. Oleh karena itu niat mengkoordinasi, baik dari aspek administrasi maupun manajemennya, untuk sementara waktu, menurut hemat saya, tidak perlu dipaksakan. Ikatan lembaga pendidikan NU baik secara regional maupun nasional cukup dikembangkan pada tataran idiologis atau state of mind saja.
Pengurus NU yang membidangi pendidikan dalam hal ini adalah Marif, menurut hemat saya bisa mengambil peran strategis lainnya yang diperlukan seperti misalnya, menjadi mediator, koordinator, dan juga peran-peran advokatif tatkala menghadapi pemerintah, maupun lembaga-lembaga lain yang diperlukan. Selain itu, juga bisa mengambil peran sebagai kekuatan memperkukuh kelembagaan, sumber informasi, maupun memberikan ide-ide inovatif lainnya. Terkait hubungannya dengan pemerintah misalnya, lembaga itu bisa melakukan mediasi dan advokasi yang biasanya memerlukan pada setiap saat. 

Peran tersebut mungkin dianggap kecil, tetapi sesungguhnya sangat diperlukan. Sebagai contoh, tatkala muncul inovasi di perguruan tinggi berupa pembangunan Rusunawa (rumah susun sederhana untuk mahasiswa), maka Lembaga Maarif berpeluang menjadi mediator dan bahkan juga menawarkan konsep-konsep pengembangannya. Tampak bahwa hingga sekarang Rusunawa baru difungsikan sebagai tempat tinggal mahasiswa. Maka NU dengan pengalaman panjang mengembangkan pesantren, berpeluang menawarkan konsep pemanfaatan fasilitas tersebut. NU sangat kaya pengalaman yang diperlukan dalam mengelola Rusunawa untuk difungsikan sebagai ma'had. 

Selain itu, dalam memajukan lembaga pendidikan, pasti memerlukan peran-peran publikatif dan pencitraan. NU melalui para kyai, ulama, dan tokohnya bisa menjelaskan tentang lembaga pendidikan yang selama ini dikembangkan. Melalui peran para pemuka organisasi ini akan terbangun citra positif tentang lembaga pendidikan yang telah dikembangkan secara maksimal. 

Peran-peran strategis tersebut ternyata belum banyak dimainkan. Bahkan disengaja atau tidak, atau pasti tidak disengaja, sering terdengar adanya tokoh yang justru menerangkan bahwa lembaga pendidikan yang dikelola para kyai atau ulama masih mengalami ketertinggalan. Penjelasan tokoh dimaksud juga diikuti dengan mengirim anak atau keluarganya ke sekolah-sekolah yang bukan milik organisasinya sendiri. Akhirnya, terbangun kepercayaan bahwa lembaga pendidikan yang berada di bawah pembinaan NU belum maju. Hal yang merugikan seperti ini terjadi oleh karena belum ada koordinasi yang kuat. 

Membangun apapun, tidak terkecuali lembaga pendidikan di era kompetitif seperti sekarang ini, kegiatan publikasi adalah sangat penting. Segenap pemimpin organisasi yang membawahi lembaga pendidikan harus ikut mempublikasikan dan membangun citra positif secara bersama-sama Bahwa lembaga pendidikan yang berada di bawah Ma'arif, telah memiliki kelebihan tersendiri yang tidak dimiliki oleh jenis lembaga pendidikan lainnya. Kelebihan itu justru yang amat mendasar dan strategis misalnya, dalam membangun watak atau akhlak, spiritual, disamping bekal ilmu dan ketrampilan sebagaimana lembaga pendidikan pada umumnya. Melalui gerakan bersama-sama itu maka diharapkan semua warga NU tanpa terkecuali menjadi bangga dengan lembaga pendidikan miliknya sendiri dan mendukung dengan cara apa saja yang bisa dilakukan. 

Jika warga NU yang jumlahnya sedemikian besar berhasil digerakkan untuk membesarkan lembaga pendidikannya sendiri, maka tidak akan sulit memenangkan kompetisi yang semakin tajam di masa mendatang. Atas keberhasilan usaha bersama itu, maka warga NU akan semakin bangga dengan lembaga pendidikannya sendiri. Lebih dari itu, anak-anak mereka akan dididik atas dasar filosofi yang selama ini diperjuangkan. NU selama ini dalam membangun lembaga pendidikan bukan sebatas ikut-ikutan, melainkan mendasarkan pada filosofinya itu. Dengan cara itu, maka lembaga pendidikan yang dikelola oleh NU akan menjadi pilihan utama bagi warganya sendiri, dan syukur juga bagi orang lain atas dasar alasan rasional, yaitu filosofi yang dikembangkan, kualitas, dan atau kelebihan lainnya. Wallahu alam.
Seperti apa pendidikan NU saat ini?

Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/80195/secara-kuantitas-pendidikan-nu-tidak-ada-tandingannya
Konten adalah milik dan hak cipta www.nu.or.id
Seperti apa pendidikan NU saat ini? Secara kuantitas, saya kira pendidikan NU tidak ada tandingannya. NU adalah ormas yang memiliki lembaga pendidikan terbesar di Indonesia. Sampai sekarang pendidikan NU terus berkembang. Faktor apa yang menyebabkan pendidikan NU begitu meruah? Pendidikan NU bisa eksis dan bertahan bahkan semakin banyak karena mentalitas kader-kader NU di bidang pendidikan sangat kuat. Itu didasari oleh etos kerja mereka yang tumbuh dari ajaran agama. Salah atu ajaran agama yang menjadi pegangan kader-kader NU dalam bidang pendidikan adalah bahwa menyelenggarakan pendidikan itu tanda dari ilmu yang bermanfaat. Di dalam hadis Nabi disebutkan bahwa ilmu yang bermanfaat adalah salah satu bekal amal ibadah yang pahalanya tidak putus-putus meski sudah meninggal. Dari ajaran agama itu, etos ini menjadi nilai yang hidup dan mengakar kuat di dalam diri Nahdliyin. Sehingga kalau kita tanya berapa jumlah sekolah, berapa jumlah madrasah, lembaga formal, informal, atau pun nonformal, pasti yang terbanyak orang NU. Orientasi pendidikan NU itu seperti apa? Ilmu pendidikan zaman modern selalu mengaitkan bahwa output dari orang yang belajar adalah akses kerja. Pada dasarnya pendidikan itu ada input, proses, dan output. Di dalam standar pendidikan nasional, ada delapan output. Ouput adalah salah satu standar kompetensi kelulusan. Kalau ada mahasiswa S1 di bidang musik, dia bisa apa dan bekerja dimana. Kalau dulu tidak ada urusan yang seperti itu karena yang namanya bekerja itu adalah akibat dari proses hidup. Mereka bebas untuk hidup seperti apa, namun yang terpenting adalah mereka bisa memberikan manfaat kepada orang lain. Sehingga orientasi pendidikan pada zaman itu betul-betul berorientasi pada proses. Kalau disebut-sebut bahwa pendidikan itu adalah proses memanusiakan manusia atau pendidikan karakter yaitu sebenarnya pendidikan NU. Pendidikan karakter orientasinya adalah pada keteladanan guru. Standar Nasional Pendidikan (SNP) itu ada delapan. Yang 3 tidak terkait dengan guru, yaitu standar pendanaan, manajemen, dan sarana-prasarana. Sedangkan yang 5 selalu berkaitan dengan guru. Oleh karena itu, guru itu betul-betul merupakan kunci perubahan. Model pendidikan NU? Model pendidikan NU itu adalah model pendidikan yang sangat bagus. Dalam artian, saat kita mendidik orang itu jangan terlalu disibukkan outpunya tetapi lebih menyibukkan dengan bagaimana proses dari pendidikan itu, yaitu bagaimana memanusiakan manusia. Tujuannya? Ilmu yang bermanfaat adalah merupakan salah satu tujuan daripada pendidikan yang ada di NU. Minimal bermanfaat untuk diri sendiri, baru kemudian bermanfaat untuk orang lain. Makanya pendidikan di NU tidak pernah memikirkan tentang seperti apa sekolahnya akan dibangun. Misalnya seperti pesantren-pesantren besar NU yang ada saat ini itu tidak pernah memikirkan bagaimana membangun gedung, tetapi bagaimana seorang guru -yang punya pengaruh besar di dalam proses pendidika itu- tumbuh sebagai guru laku dan guru yang memberikan keteladanan. Oleh karena itu, jumlah pendidikan NU sangat banyak karena dua hal. Pertama, memegang teguh nilai ilmu yang bermanfaat dan yang kedua adalah berorientasi kepada proses penciptaan pendidikan karakter. Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj selalu mengatakan bahwa kalau lahir dan sekolah di NU tidak akan ada yang menjadi teroris. Karena proses pendidikannya itu sangat menentukan bagaimana antara ilmu agama dihubungkan dengan adat istiadat setempat sebagai infrastruktur agama. Nah, yang menjadi pertanyaan adalah bagaiaman kalau konsep itu dihadapkan dengan orientasi pendidikan saat itu yaitu akses kerja? Kalau pola ini diterapkan sekarang, maka dianggap kurang berkualitas karena tidak pernah berfikir pada pasca proses. Pendidikan sekarang selalu dikaitkan dengan dunia kerja yang polanya terus berkembang sesuai dengan modernitas dan industri sehingga keahlian juga semakin tumbuh dan berkembang. Pendidikan keahlian-keahlian itu yang harus disiapkan oleh sekolah. Sehingga ukuran pendidikan disebut berkualitas atau tidak itu selalu dihubungkan dengan akses kerja. Kalau anda sudah terdidik di sebuah sekolah dan kemudian lulus, anda bisa apa dan diterima dimana. Itu pola pendidikan saat ini. Lalu, bagaimana menghadapi itu? Karena sekarang harus berurusan dengan kualitas atau mutu dan pendidikan dihubungkan dengan kerja maka mau tidak mau NU juga harus melakukan penyesuaian-penyesuaian. Dan harus diakui bahwa dalam konteks ini NU agak tertinggal. Jadi untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian tujuan pendidikan, NU itu agak lambat dalam arti bahwa NU masih tetap saja berorientasi kepada dua hal dia atas, yaitu ilmu yang bermanfaat dan proses. Bagaimana memperbaikinya? Harus segera dilakukan penyesuaian-penyesuaian. Banyak juga lembaga-lembaga pendidikan sekolah atau madrasah NU, lembaga-lembaga pendidikan pesantren NU yang sudah melakukan penyesuaian-penyesuaian. Tetapi secara keseluruhan bisa dikatakan bahwa belum sepenuhnya bisa karena begitu banyaknya jumlah lembaga pendidikan NU. Terus, bagaimana caranya melakukan penyesuaian-penyesuaian tersebut dan harus dimulai dari mana? Pertama kita bicara peran negara. Ada empat tujuan daripada didirikannya negara ini, diantaranya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini adalah tujuan utama dari bernegara dan ini kaitannya dengan pendidikan. Mencerdaskan itu bukan hanya pada aspek kognitif saja, kecerdasan itu kan mencerdaskan kehidupan. Artinya, implementasi dari ilmu pendidikan itu melahirkan kemudahan-kemudahan dan produktivitas-produktivitas dimana anak bangsa bisa dengan mudah menciptakan kesejahteraannya. Itu adalah kebijakan negara menciptakan kebijakan-kebijakan. Derivasi dari tujuan bernegara ini, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, dirumuskan di dalam UUD 1945. Ada banyak pasal-pasal yang menjelaskan mengenai bagaimana cerdas dalam kehidupan. Intinya adalah pendidikan itu merupakan hak dasar bagi setiap warga negara yang harus disiapkan oleh negara. Oleh karena itu, negara wajib menyelenggarakan dan tidak boleh ada diskriminasi. Diskriminasi itu masih terjadi dimana-mana. Misalnya, sarana antara madrasah dan sekolah negeri beda, perlakuan di Papua dan di Jawa beda. Ini tidak boleh terjadi. Kedua kita bicara internal. NU juga harus memperbaiki manajemen yang ada dan meningkatkan kompetensi dan profesionalisme guru yang mengajar di sekolah-sekolah NU.

Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/80195/secara-kuantitas-pendidikan-nu-tidak-ada-tandingannya
Konten adalah milik dan hak cipta www.nu.or.id
Seperti apa pendidikan NU saat ini? Secara kuantitas, saya kira pendidikan NU tidak ada tandingannya. NU adalah ormas yang memiliki lembaga pendidikan terbesar di Indonesia. Sampai sekarang pendidikan NU terus berkembang. Faktor apa yang menyebabkan pendidikan NU begitu meruah? Pendidikan NU bisa eksis dan bertahan bahkan semakin banyak karena mentalitas kader-kader NU di bidang pendidikan sangat kuat. Itu didasari oleh etos kerja mereka yang tumbuh dari ajaran agama. Salah atu ajaran agama yang menjadi pegangan kader-kader NU dalam bidang pendidikan adalah bahwa menyelenggarakan pendidikan itu tanda dari ilmu yang bermanfaat. Di dalam hadis Nabi disebutkan bahwa ilmu yang bermanfaat adalah salah satu bekal amal ibadah yang pahalanya tidak putus-putus meski sudah meninggal. Dari ajaran agama itu, etos ini menjadi nilai yang hidup dan mengakar kuat di dalam diri Nahdliyin. Sehingga kalau kita tanya berapa jumlah sekolah, berapa jumlah madrasah, lembaga formal, informal, atau pun nonformal, pasti yang terbanyak orang NU. Orientasi pendidikan NU itu seperti apa? Ilmu pendidikan zaman modern selalu mengaitkan bahwa output dari orang yang belajar adalah akses kerja. Pada dasarnya pendidikan itu ada input, proses, dan output. Di dalam standar pendidikan nasional, ada delapan output. Ouput adalah salah satu standar kompetensi kelulusan. Kalau ada mahasiswa S1 di bidang musik, dia bisa apa dan bekerja dimana. Kalau dulu tidak ada urusan yang seperti itu karena yang namanya bekerja itu adalah akibat dari proses hidup. Mereka bebas untuk hidup seperti apa, namun yang terpenting adalah mereka bisa memberikan manfaat kepada orang lain. Sehingga orientasi pendidikan pada zaman itu betul-betul berorientasi pada proses. Kalau disebut-sebut bahwa pendidikan itu adalah proses memanusiakan manusia atau pendidikan karakter yaitu sebenarnya pendidikan NU. Pendidikan karakter orientasinya adalah pada keteladanan guru. Standar Nasional Pendidikan (SNP) itu ada delapan. Yang 3 tidak terkait dengan guru, yaitu standar pendanaan, manajemen, dan sarana-prasarana. Sedangkan yang 5 selalu berkaitan dengan guru. Oleh karena itu, guru itu betul-betul merupakan kunci perubahan. Model pendidikan NU? Model pendidikan NU itu adalah model pendidikan yang sangat bagus. Dalam artian, saat kita mendidik orang itu jangan terlalu disibukkan outpunya tetapi lebih menyibukkan dengan bagaimana proses dari pendidikan itu, yaitu bagaimana memanusiakan manusia. Tujuannya? Ilmu yang bermanfaat adalah merupakan salah satu tujuan daripada pendidikan yang ada di NU. Minimal bermanfaat untuk diri sendiri, baru kemudian bermanfaat untuk orang lain. Makanya pendidikan di NU tidak pernah memikirkan tentang seperti apa sekolahnya akan dibangun. Misalnya seperti pesantren-pesantren besar NU yang ada saat ini itu tidak pernah memikirkan bagaimana membangun gedung, tetapi bagaimana seorang guru -yang punya pengaruh besar di dalam proses pendidika itu- tumbuh sebagai guru laku dan guru yang memberikan keteladanan. Oleh karena itu, jumlah pendidikan NU sangat banyak karena dua hal. Pertama, memegang teguh nilai ilmu yang bermanfaat dan yang kedua adalah berorientasi kepada proses penciptaan pendidikan karakter. Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj selalu mengatakan bahwa kalau lahir dan sekolah di NU tidak akan ada yang menjadi teroris. Karena proses pendidikannya itu sangat menentukan bagaimana antara ilmu agama dihubungkan dengan adat istiadat setempat sebagai infrastruktur agama. Nah, yang menjadi pertanyaan adalah bagaiaman kalau konsep itu dihadapkan dengan orientasi pendidikan saat itu yaitu akses kerja? Kalau pola ini diterapkan sekarang, maka dianggap kurang berkualitas karena tidak pernah berfikir pada pasca proses. Pendidikan sekarang selalu dikaitkan dengan dunia kerja yang polanya terus berkembang sesuai dengan modernitas dan industri sehingga keahlian juga semakin tumbuh dan berkembang. Pendidikan keahlian-keahlian itu yang harus disiapkan oleh sekolah. Sehingga ukuran pendidikan disebut berkualitas atau tidak itu selalu dihubungkan dengan akses kerja. Kalau anda sudah terdidik di sebuah sekolah dan kemudian lulus, anda bisa apa dan diterima dimana. Itu pola pendidikan saat ini. Lalu, bagaimana menghadapi itu? Karena sekarang harus berurusan dengan kualitas atau mutu dan pendidikan dihubungkan dengan kerja maka mau tidak mau NU juga harus melakukan penyesuaian-penyesuaian. Dan harus diakui bahwa dalam konteks ini NU agak tertinggal. Jadi untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian tujuan pendidikan, NU itu agak lambat dalam arti bahwa NU masih tetap saja berorientasi kepada dua hal dia atas, yaitu ilmu yang bermanfaat dan proses. Bagaimana memperbaikinya? Harus segera dilakukan penyesuaian-penyesuaian. Banyak juga lembaga-lembaga pendidikan sekolah atau madrasah NU, lembaga-lembaga pendidikan pesantren NU yang sudah melakukan penyesuaian-penyesuaian. Tetapi secara keseluruhan bisa dikatakan bahwa belum sepenuhnya bisa karena begitu banyaknya jumlah lembaga pendidikan NU. Terus, bagaimana caranya melakukan penyesuaian-penyesuaian tersebut dan harus dimulai dari mana? Pertama kita bicara peran negara. Ada empat tujuan daripada didirikannya negara ini, diantaranya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini adalah tujuan utama dari bernegara dan ini kaitannya dengan pendidikan. Mencerdaskan itu bukan hanya pada aspek kognitif saja, kecerdasan itu kan mencerdaskan kehidupan. Artinya, implementasi dari ilmu pendidikan itu melahirkan kemudahan-kemudahan dan produktivitas-produktivitas dimana anak bangsa bisa dengan mudah menciptakan kesejahteraannya. Itu adalah kebijakan negara menciptakan kebijakan-kebijakan. Derivasi dari tujuan bernegara ini, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, dirumuskan di dalam UUD 1945. Ada banyak pasal-pasal yang menjelaskan mengenai bagaimana cerdas dalam kehidupan. Intinya adalah pendidikan itu merupakan hak dasar bagi setiap warga negara yang harus disiapkan oleh negara. Oleh karena itu, negara wajib menyelenggarakan dan tidak boleh ada diskriminasi. Diskriminasi itu masih terjadi dimana-mana. Misalnya, sarana antara madrasah dan sekolah negeri beda, perlakuan di Papua dan di Jawa beda. Ini tidak boleh terjadi. Kedua kita bicara internal. NU juga harus memperbaiki manajemen yang ada dan meningkatkan kompetensi dan profesionalisme guru yang mengajar di sekolah-sekolah NU.

Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/80195/secara-kuantitas-pendidikan-nu-tidak-ada-tandingannya
Konten adalah milik dan hak cipta www.nu.or.id

Posting Komentar

0 Komentar