Banyak
orang meyakini bahwa leading people is an art. Sebagai seni, maka tidak
ada rumus pasti tentang cara memadukan reramuan tindakan pemimpin dalam
mengarahkan perilaku bawahan. Meski begitu, sejumlah pakar sudah sangat
banyak mengemukakan pandangan mereka tentang model kepemimpinan yang
efektif. Mulai dari yang transaksional alias “jual-beli”, lalu ada juga
yang situasional alias “tergantung sikon”. Bahkan sampai yang nuansanya
transformasional alias “mengajak bawahan berubah hingga ke lubuk hati
terdalam”. Meskipun demikian, penerapan berbagai model ini pada
kenyataannya tidak selalu berjalan mulus. Banyaknya kasus kepemimpinan
yang gagal seakan membuat berbagai model kepemimpinan tadi tidak ada
artinya.
[1] Berbagai pusat keramaian dan tempat-tempat rekreasi belakangan ini dipadati para orang tua dan anak sekolah yang sedang menikmati liburan. Ada kelegaan dan keceriaan menghiasi wajah anak-anak sekolah tersebut setelah ulangan dan ujian akhir usai. Mereka layak untuk menikmati liburan ini dan besar harapan dari para orang tua agar anak sekolah mendapatkan pengalaman yang unik dan berharga.
Selama beberapa hari, anak-anak terbebas dari aktivitas sekolah, tugas, ulangan, ujian, bahkan sampai aktivitas rutin bangun pagi. Liburan memang layak diidamkan oleh anak sekolah termasuk orang tua. Sayangnya, masa-masa liburan tak akan lama dan harus berakhir. Menjelang masuk sekolah, anak dan orang tua juga akan memenuhi toko buku dan toko pakaian yang menjual kelengkapan sekolah. Segala materi dan atribut sekolah seperti buku pelajaran, alat tulis, seragam sekolah, tas sekolah sampai pernak-pernik seperti ikat rambut dan kaos kaki menjadi incaran anak dan orang tua. Bahkan, orang tua harus mengambil cuti (bagi orang tua yang bekerja full time) untuk menyempatkan pergi belanja. Inilah salah satu ritual memasuki tahun ajaran baru. Selain itu, bagi anak-anak yang lulus jenjang pendidikan tertentu (misal lulus SD), orang tuanya sudah pasti harus sibuk pula mengurus pendaftaran dan memenuhi administrasi jenjang pendidikan selanjutnya. Berbagai kesibukan memenuhi hari-hari setelah berlibur.
Kisah pun kemudian terus berlanjut. Setelah kebutuhan materi terpenuhi, menjelang periode masuk sekolah, orang tua mulai duduk di kursi arogannya dengan memberikan berbagai wejangan atau nasihat kepada anaknya. Beberapa nasihat yang klise terlontar:
[2] “Kalo sudah kelas 5 berarti harus lebih rajin lho!”
“Kamu sudah semakin besar, sudah SMP. Jadi harus mandiri ya, jangan bangun siang lagi!”
“Kamu kan sudah masuk SMA, berarti harus tahu tanggung jawabnya ya! Jangan banyak main sama baca novel aja. Nanti kalau nggak lulus, gimana?!”
Orang tua juga mulai membeberkan berbagai tugas-tugas tambahan untuk mereka. Orang tua mulai menuntut agar anaknya melakukan hal-hal yang lebih positif sehubungan dengan peningkatan jenjang pendidikan dan kelas anak. Tanpa disadari, orang tua berbicara hanya satu arah tanpa mempertimbangkan tanggapan anak dan kondisi baru yang akan anak hadapi nanti setelah masuk sekolah lagi.
Banyak orang tua sudah puas ketika telah memenuhi kebutuhan sekolah anaknya berupa materi. Bagi orang tua, tanggung jawabnya cukup sampai di situ. Kalaupun ada tambahan, orang tua merasa bertanggung jawab untuk menasihati anaknya agar siap memasuki tahun ajaran baru. Dalam hal ini, tuntutan penyesuaian diri dianggap hanya ada di pihak anak saja. Sudut pandang bahwa penyesuaian diri perlu dilakukan oleh berbagai pihak, kurang dipikirkan orang tua.
Ketika anak memasuki tahun ajaran baru, sesungguhnya anak akan dihadapkan pada berbagai kondisi baru. Anak akan berhadapan dengan teman-teman baru dalam satu kelas, berhadapan dengan guru-guru baru, tuntutan materi pelajaran yang semakin kompleks, perubahan waktu belajar dan istirahat di sekolah, termasuk mungkin perubahan jam berangkat sekolah. Perubahan-perubahan seperti tersebut di atas akan lebih terasa oleh mereka yang memasuki sekolah baru atau naik jenjang yang lebih tinggi, misalnya lulus SD lalu masuk SMP dan seterusnya. Perubahan-perubahan yang terjadi kadang kurang disadari oleh anak dan orang tua. Kalaupun disadari, belum semua orang tua mempersiapkan anaknya untuk nyaman dan siap menjalani perubahan yang ada.
Perubahan menuntut penyesuaian diri
[3] Saat anak memasuki kondisi sekolah yang baru maka anak dituntut untuk menyesuaikan diri dengan kondisi tersebut. Menyesuaikan diri di sini bukan berarti anak berubah “menjadi” seperti tuntutan lingkungannya. Hal yang diharapkan adalah anak dapat memadukan potensi dan kondisi internal dirinya dengan lingkungan tempat ia berinteraksi. Sekecil apapun perubahan yang terjadi, penyesuaian diri tetap perlu dilakukan agar anak dapat tampil optimal. Misalnya, anak sangat terbiasa dengan cara guru “X” mengajar, maka dengan cara tersebut ia dapat optimal mencerap materi pelajaran. Kenyataannya, saat ia naik kelas, ia mendapatkan guru yang mungkin berbeda cara pengajaranya dengan guru di kelas sebelumnya, hal ini tentu mempengaruhi sikap belajar anak. Bisa saja anak menjadi tidak tertarik untuk mempelajari materi tersebut dan menjadi malas ke sekolah. Fenomena ini wajar dan mungkin terjadi pada anak sekolah di kelasnya yang baru. Melihat kondisi seperti ini, anak dituntut untuk melakukan suatu penyesuaian untuk mengikuti cara guru mengajar. Pertanyaannya sekarang, apakah penyesuaian diri hanya perlu dilakukan anak?
Anak Menyesuaikan Diri, Orang Tua Juga
[4] Melihat contoh di atas, orang tua dapat berpikir lebih lanjut bahwa saat anak malas ke sekolah dan malas belajar, toh orang tua juga tidak dapat tinggal diam. Orang tua akan mencari cara dan membantu mendampingi anak untuk menghadapi perubahan belajar tersebut. Misalnya di tahun ajaran yang lalu, orang tua tidak pusing atau repot memikirkan anaknya belajar, akan tetapi di tahun ajaran baru sekarang, orang tua disibukkan oleh anaknya yang malas belajar. Kondisi ini menyadarkan orang tua bahwa penyesuaian diri bukan hanya dilakukan oleh anak tapi juga orang tua. Contoh lain, saat di tahun ajaran lalu, anak sekolah pagi yang dimulai pukul 07.00. Ternyata, di tahun ajaran ini, anak harus masuk siang sehingga orang tua perlu mengubah jadual mengantar anak ke sekolah disesuaikan dengan aktivitas orang tua. Selain itu, ada juga perubahan jam belajar di rumah, perubahan jam istirahat dan makan sehingga waktu aktivitas orang tua juga perlu penyesuaian. Hal kecil ini sering terjadi namun kadang kurang disadari orang tua bahwa penyesuaian diri anak adalah termasuk penyesuaian orang tua juga, hanya saja mungkin dengan cara-cara yang berbeda.
Mendampingi anak dalam proses penyesuaian diri
Pengenalan karakter anak
Ketika orang tua menyadari bahwa anak dan orang tua perlu penyesuaian diri saat memasuki tahun ajaran baru, maka di siitulah orang tua belajar lebih memahami karakter anak. Penyesuaian diri anak yang satu tentu berbeda dengan anak lainnya. Pengalaman anak sulung yang mengalami kendala ketika diajari oleh guru “X” bisa saja tidak dialami anak kedua yang diajar guru yang sama. Pemahaman orang tua terhadap keunikan karakter dari anak yang satu dengan lainnya akan membantu pendampingan anak dalam menyesuaikan diri. Pada contoh kasus, orang tua hendaknya jangan menyamaratakan pandangannya dari anak sulung ke anak yang lain. Hendaknya orang tua memahami karakter sulung dan adiknya berbeda sehingga orang tua lebih siap mendampingi si adik. Akan lebih mudah bagi orang tua mendampingi anaknya jika orang tua mengenal betul karakter anaknya.
Hubungan baik dan komunikasi yang mendukung
[5] Hal lain yang menjadi penting adalah hubungan anak dan orang tua serta komunikasi yang terjadi di antara mereka. Hubungan orang tua yang hangat dengan anaknya akan memudahkan orang tua dalam mendampingi anak menyesuaikan diri. Orang tua menjadi lebih mudah menggali hal-hal yang menghambat anaknya saat penyesuaian diri dan si anak akan lebih terbuka pada orang tua. Saat terjalin hubungan baik dan komunikasi yang lancar maka proses diskusi dan cara penyelesaian suatu masalah dapat berjalan lancar. Misalnya, saat jam masuk sekolah berubah, maka orang tua dapat berdiskusi dengan anak tentang siapa yang akan menjemput anak lalu anak akan mengemukakan pendapatnya. Contoh lain, saat anak murung di rumah setelah pulang sekolah, orang tua bisa menanyakan apa penyebabnya. Dengan keterbukaan dan komunikasi yang lancar maka anak akan menceritakan mengapa murung, lalu bersama-sama berdiskusi untuk mencari solusinya.
Bersama-sama menyesuaikan diri
[6] Menyadari bahwa anak adalah bagian dari kehidupan orang tua dan orang tua punya kendali pada anak, maka perlu disadari bahwa penyesuaian diri anak adalah juga penyesuaian diri orang tua. Ada tipe orang tua yang menyadari bahwa dirinya juga perlu menyesuaikan diri dengan kebutuhan anak yang memasuki tahun ajaran baru. Di sisi lain ada juga orang tua yang tidak terpikir bahwa anak membutuhkan bantuan orang tua dalam menghadapi perubahan yang ada di tahun ajaran baru. Pilihannya ada di tangan orang tua. Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa kesadaran akan perlunya penyesuaian diri yang baik dapat membantu anak dan orang tua menjalani hari-harinya penuh bahagia tanpa beban.
Selamat memasuki tahun ajaran baru, selamat menyesuaikan diri.
( http://lptui.com/artikel/talent-mapping-pendidikan/tahun-ajaran-baru-ajang-penyesuaian-diri-bagi-anak-dan-orang-tua )
[1] Berbagai pusat keramaian dan tempat-tempat rekreasi belakangan ini dipadati para orang tua dan anak sekolah yang sedang menikmati liburan. Ada kelegaan dan keceriaan menghiasi wajah anak-anak sekolah tersebut setelah ulangan dan ujian akhir usai. Mereka layak untuk menikmati liburan ini dan besar harapan dari para orang tua agar anak sekolah mendapatkan pengalaman yang unik dan berharga.
Selama beberapa hari, anak-anak terbebas dari aktivitas sekolah, tugas, ulangan, ujian, bahkan sampai aktivitas rutin bangun pagi. Liburan memang layak diidamkan oleh anak sekolah termasuk orang tua. Sayangnya, masa-masa liburan tak akan lama dan harus berakhir. Menjelang masuk sekolah, anak dan orang tua juga akan memenuhi toko buku dan toko pakaian yang menjual kelengkapan sekolah. Segala materi dan atribut sekolah seperti buku pelajaran, alat tulis, seragam sekolah, tas sekolah sampai pernak-pernik seperti ikat rambut dan kaos kaki menjadi incaran anak dan orang tua. Bahkan, orang tua harus mengambil cuti (bagi orang tua yang bekerja full time) untuk menyempatkan pergi belanja. Inilah salah satu ritual memasuki tahun ajaran baru. Selain itu, bagi anak-anak yang lulus jenjang pendidikan tertentu (misal lulus SD), orang tuanya sudah pasti harus sibuk pula mengurus pendaftaran dan memenuhi administrasi jenjang pendidikan selanjutnya. Berbagai kesibukan memenuhi hari-hari setelah berlibur.
Kisah pun kemudian terus berlanjut. Setelah kebutuhan materi terpenuhi, menjelang periode masuk sekolah, orang tua mulai duduk di kursi arogannya dengan memberikan berbagai wejangan atau nasihat kepada anaknya. Beberapa nasihat yang klise terlontar:
[2] “Kalo sudah kelas 5 berarti harus lebih rajin lho!”
“Kamu sudah semakin besar, sudah SMP. Jadi harus mandiri ya, jangan bangun siang lagi!”
“Kamu kan sudah masuk SMA, berarti harus tahu tanggung jawabnya ya! Jangan banyak main sama baca novel aja. Nanti kalau nggak lulus, gimana?!”
Orang tua juga mulai membeberkan berbagai tugas-tugas tambahan untuk mereka. Orang tua mulai menuntut agar anaknya melakukan hal-hal yang lebih positif sehubungan dengan peningkatan jenjang pendidikan dan kelas anak. Tanpa disadari, orang tua berbicara hanya satu arah tanpa mempertimbangkan tanggapan anak dan kondisi baru yang akan anak hadapi nanti setelah masuk sekolah lagi.
Banyak orang tua sudah puas ketika telah memenuhi kebutuhan sekolah anaknya berupa materi. Bagi orang tua, tanggung jawabnya cukup sampai di situ. Kalaupun ada tambahan, orang tua merasa bertanggung jawab untuk menasihati anaknya agar siap memasuki tahun ajaran baru. Dalam hal ini, tuntutan penyesuaian diri dianggap hanya ada di pihak anak saja. Sudut pandang bahwa penyesuaian diri perlu dilakukan oleh berbagai pihak, kurang dipikirkan orang tua.
Ketika anak memasuki tahun ajaran baru, sesungguhnya anak akan dihadapkan pada berbagai kondisi baru. Anak akan berhadapan dengan teman-teman baru dalam satu kelas, berhadapan dengan guru-guru baru, tuntutan materi pelajaran yang semakin kompleks, perubahan waktu belajar dan istirahat di sekolah, termasuk mungkin perubahan jam berangkat sekolah. Perubahan-perubahan seperti tersebut di atas akan lebih terasa oleh mereka yang memasuki sekolah baru atau naik jenjang yang lebih tinggi, misalnya lulus SD lalu masuk SMP dan seterusnya. Perubahan-perubahan yang terjadi kadang kurang disadari oleh anak dan orang tua. Kalaupun disadari, belum semua orang tua mempersiapkan anaknya untuk nyaman dan siap menjalani perubahan yang ada.
Perubahan menuntut penyesuaian diri
[3] Saat anak memasuki kondisi sekolah yang baru maka anak dituntut untuk menyesuaikan diri dengan kondisi tersebut. Menyesuaikan diri di sini bukan berarti anak berubah “menjadi” seperti tuntutan lingkungannya. Hal yang diharapkan adalah anak dapat memadukan potensi dan kondisi internal dirinya dengan lingkungan tempat ia berinteraksi. Sekecil apapun perubahan yang terjadi, penyesuaian diri tetap perlu dilakukan agar anak dapat tampil optimal. Misalnya, anak sangat terbiasa dengan cara guru “X” mengajar, maka dengan cara tersebut ia dapat optimal mencerap materi pelajaran. Kenyataannya, saat ia naik kelas, ia mendapatkan guru yang mungkin berbeda cara pengajaranya dengan guru di kelas sebelumnya, hal ini tentu mempengaruhi sikap belajar anak. Bisa saja anak menjadi tidak tertarik untuk mempelajari materi tersebut dan menjadi malas ke sekolah. Fenomena ini wajar dan mungkin terjadi pada anak sekolah di kelasnya yang baru. Melihat kondisi seperti ini, anak dituntut untuk melakukan suatu penyesuaian untuk mengikuti cara guru mengajar. Pertanyaannya sekarang, apakah penyesuaian diri hanya perlu dilakukan anak?
Anak Menyesuaikan Diri, Orang Tua Juga
[4] Melihat contoh di atas, orang tua dapat berpikir lebih lanjut bahwa saat anak malas ke sekolah dan malas belajar, toh orang tua juga tidak dapat tinggal diam. Orang tua akan mencari cara dan membantu mendampingi anak untuk menghadapi perubahan belajar tersebut. Misalnya di tahun ajaran yang lalu, orang tua tidak pusing atau repot memikirkan anaknya belajar, akan tetapi di tahun ajaran baru sekarang, orang tua disibukkan oleh anaknya yang malas belajar. Kondisi ini menyadarkan orang tua bahwa penyesuaian diri bukan hanya dilakukan oleh anak tapi juga orang tua. Contoh lain, saat di tahun ajaran lalu, anak sekolah pagi yang dimulai pukul 07.00. Ternyata, di tahun ajaran ini, anak harus masuk siang sehingga orang tua perlu mengubah jadual mengantar anak ke sekolah disesuaikan dengan aktivitas orang tua. Selain itu, ada juga perubahan jam belajar di rumah, perubahan jam istirahat dan makan sehingga waktu aktivitas orang tua juga perlu penyesuaian. Hal kecil ini sering terjadi namun kadang kurang disadari orang tua bahwa penyesuaian diri anak adalah termasuk penyesuaian orang tua juga, hanya saja mungkin dengan cara-cara yang berbeda.
Mendampingi anak dalam proses penyesuaian diri
Pengenalan karakter anak
Ketika orang tua menyadari bahwa anak dan orang tua perlu penyesuaian diri saat memasuki tahun ajaran baru, maka di siitulah orang tua belajar lebih memahami karakter anak. Penyesuaian diri anak yang satu tentu berbeda dengan anak lainnya. Pengalaman anak sulung yang mengalami kendala ketika diajari oleh guru “X” bisa saja tidak dialami anak kedua yang diajar guru yang sama. Pemahaman orang tua terhadap keunikan karakter dari anak yang satu dengan lainnya akan membantu pendampingan anak dalam menyesuaikan diri. Pada contoh kasus, orang tua hendaknya jangan menyamaratakan pandangannya dari anak sulung ke anak yang lain. Hendaknya orang tua memahami karakter sulung dan adiknya berbeda sehingga orang tua lebih siap mendampingi si adik. Akan lebih mudah bagi orang tua mendampingi anaknya jika orang tua mengenal betul karakter anaknya.
Hubungan baik dan komunikasi yang mendukung
[5] Hal lain yang menjadi penting adalah hubungan anak dan orang tua serta komunikasi yang terjadi di antara mereka. Hubungan orang tua yang hangat dengan anaknya akan memudahkan orang tua dalam mendampingi anak menyesuaikan diri. Orang tua menjadi lebih mudah menggali hal-hal yang menghambat anaknya saat penyesuaian diri dan si anak akan lebih terbuka pada orang tua. Saat terjalin hubungan baik dan komunikasi yang lancar maka proses diskusi dan cara penyelesaian suatu masalah dapat berjalan lancar. Misalnya, saat jam masuk sekolah berubah, maka orang tua dapat berdiskusi dengan anak tentang siapa yang akan menjemput anak lalu anak akan mengemukakan pendapatnya. Contoh lain, saat anak murung di rumah setelah pulang sekolah, orang tua bisa menanyakan apa penyebabnya. Dengan keterbukaan dan komunikasi yang lancar maka anak akan menceritakan mengapa murung, lalu bersama-sama berdiskusi untuk mencari solusinya.
Bersama-sama menyesuaikan diri
[6] Menyadari bahwa anak adalah bagian dari kehidupan orang tua dan orang tua punya kendali pada anak, maka perlu disadari bahwa penyesuaian diri anak adalah juga penyesuaian diri orang tua. Ada tipe orang tua yang menyadari bahwa dirinya juga perlu menyesuaikan diri dengan kebutuhan anak yang memasuki tahun ajaran baru. Di sisi lain ada juga orang tua yang tidak terpikir bahwa anak membutuhkan bantuan orang tua dalam menghadapi perubahan yang ada di tahun ajaran baru. Pilihannya ada di tangan orang tua. Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa kesadaran akan perlunya penyesuaian diri yang baik dapat membantu anak dan orang tua menjalani hari-harinya penuh bahagia tanpa beban.
Selamat memasuki tahun ajaran baru, selamat menyesuaikan diri.
( http://lptui.com/artikel/talent-mapping-pendidikan/tahun-ajaran-baru-ajang-penyesuaian-diri-bagi-anak-dan-orang-tua )
0 Komentar